Analisis Pakar: Politik Turki Antara Ekspansif Neo-Ottoman dan Pragmatis Bertahan di Kawasan
Kebijakan agresif Turki dipicu faktor keamanan domestik dan kawasan, kemandirian energi, berkurangnya pengaruh AS di Irak dan Suriah.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Perjanjian ini secara fundamental mengubah batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Mediterania timur, menandai niat Turki memblokir proyek apa pun untuk mengekspor energi ke Eropa tanpa persetujuannya.
Oleh karena itu, kelangsungan hidup GNA di Tripoli menjadi kepentingan utama Turki. Ketika Haftar mengepung Tripoli awal tahun ini, kehadiran militer Turki di sisi GNA, mengubah dinamika konflik.
Persaingan regional dengan UEA, yang dicurigai Turki terlibat upaya kudeta 2016, dan juga mendukung YPG dan PKK, mendorongnya pada 2017 untuk mengambil tindakan atas blokade terhadap Qatar, sekutu utamanya di Arab dan pemasok gas yang semakin penting. .
Pemerintah Turki memaknai tindakan UEA, Arab Saudi, Bahrain dan Mesir sebagai upaya untuk melakukan perubahan rezim di Doha, semacam tindak lanjut dari upaya kudeta di Turki.
Turki kini memiliki pangkalan militer di Doha. Sama dengan Pentagon yang memiliki pangkalan terbesar di Timur Tengah di negara mini ini.
Sejak 2011, Emirat Arab bersama sekutunya di Riyadh, telah berusaha merongrong kebangkitan kekuatan yang condong Islamis di seluruh dunia Arab.
Pada 2013, UEA membantu mengatur kudeta militer terhadap Presiden Mesir Mohamed Morsi yang terpilih secara demokratis.
Setelah upaya kudeta gagal di Turki, UEA mendesak Arab Saudi dan sekutu regional lainnya untuk mengejar Qatar.
Menurut Marwan Kabalan, dengan mendukung Qatar, Turki sebenarnya membela diri dan menopang posisinya vis-a-vis saingannya.
Parlemen Turki bergegas untuk meratifikasi perjanjian militer dengan Doha dan pasukan dikirim ke negara sekutu tersebut untuk mencegah kemungkinan aksi militer Saudi-Emirat.
Dengan demikian, tulis Marwan, di balik apa yang tampaknya menjadi kebijakan luar negeri Turki yang agresif terletak pragmatisme defensif daripada ambisi untuk memulihkan kejayaan Ottoman.
Memang, dalam sebagian besar proyek proyeksi kekuatannya, tangan Turki telah dipaksa oleh keadaan eksternal, bukan dorongan ekspansionis.
Ini satu di antara konsekuensi makin tidak intensifnya kekuatan AS di Irak dan Suriah. Washington kini bukan pemain utama di Timur Tengah dan Afrika Utara.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)