Hizbullah Menjawab Tudingan Keterlibatan dalam Ledakan Beirut
Jauh sebelum kejadian ledakan besar di Beirut, Nasrallah pernah mengancam akan menargetkan kilang kimia dan minyak di pelabuhan Haifa
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, BEIRUT - Ledakan yang terjadi di Beirut, Lebanon pada Selasa (4/8/2020), masih menjadi tanda tanya dan perdebatan tetang sebab yang melatari terjadinya tragedi yang menewaskan 100 orang lebih dan 5.000 orang luka-luka.
Spekulasi bermunculan soal penyebab yang terjadi, mulai dari kelalaian dalam penyimpanan dan pengawasan yang tepat terhadap ratusan ton amonium nitrat, kepemimpinan korup yang mengesampingkan keselamatan masyarakat, hingga teori keterlibatan kelompok teroris.
Masih santer terdengar kelompok pasukan perang Israel dan Hezbollah yang menduduki Lebanon, merupakan aktor di balik bencana kemanusian dan disusul bencana ekonomi di Beirut Selasa lalu.
Baca: POPULER Internasional: Rekaman Detik-detik Ledakan Beirut | Percobaan Penculikan Presiden Venezuela
Melansir The Times of Israel pada Jumat (7/8/2020), Israel membantah spekulasi keterlibatan pihaknya dalam ledakan Beirut. Disusul pernyataan dari kelompok Hezbollah.
Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah bersikeras mengatakan bahwa Hezbollah maupun Israel tidak terlibat.
"Saya ingin secara mutlak, dengan tegas mengesampingkan apa pun yang menjadi milik kami di pelabuhan (Beirut). Tidak ada senjata, tidak ada rudal, atau bom atau senapan atau bahkan peluru atau amonium nitrat," kata Nasrallah pada Jumat (7/8/2020).
"Tanpa ada yang disembunyikan, tidak ada apa-apa. Tidak sekarang, tidak selamanya," lanjutnya.
Namun, pernyataan dari kelompok Hezbollah tersebut masih belum bisa dipercaya. Merunut kejadian sebelumnya, di mana sebelum ledakan besar itu terjadi, dan setelah Hezbollah meningkatkan ketegangan dengan Israel, Nasrallah telah bersiap untuk menyampaikan suatu pidato kepada negara Lebanon pada Rabu (5/8/2020).
Namun, niat tersebut urung dilakukan setelah secara tiba-tiba ledakan besar terjadi di pelabuhan, yang menjadi pusat pengadaan barang di ibu kota Lebanon dari luar negaranya.
Jauh sebelum kejadian ledakan besar di Beirut, Nasrallah pernah mengancam akan menargetkan kilang kimia dan minyak di pelabuhan Haifa, pelabuhan alami milik Israel di Laut Tengah.
Penargetan itu sebagai upaya menciptakan ledakan yang mirip dengan yang telah terjadi di pelabuhan Beirut. Selama perang antara Hezbollah dengan Israel pada 2006, kelompok militan Syiah itu menembakkan ratusan rokte ke pelabuhan Haifa.
Berusaha menangkis teori bahwa Hezbollah telah menyimpan senjata di pelabuhan Beirut untuk menyerang pelabuhan Haifa, Hezbollah mengatakan tidak sama sekali bertanggung jawab atas aktivitas pelabuhan dan bahkan ia mengatakan tidak tahu banyak tentang pelabuhan Beirut.
"Kami tidak mengatur pelabuhan, atau mengelolanya, kami juga tidak ikut campur di dalamnya. Kami juga tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana...tanggung jawab kami adalah melakukan perlawanan (Israel). Kami tahu lebih banyak tentang pelabuhan Haifa daripada pelabuhan Beirut," kata Nasrallah.
Sementara itu dalam menanggapi dugaan Presiden Lebanon, Michel Aoun tentang adanya intervensi asing, Nasrallah hampir tidak menyebutkan Israel selama pidatonya.
"Mereka yang bertanggung jawab akan diperlakukan seperti sekutu, suatu agama atau sekte, itu tidak relevan. Siapa pun mereka, apa pun keluarga atau sekte atau partainya, keadilan harus ditegakkan," kata Nasrallah.
Nasrallah menyebutkan bahwa spekulasi tentang Hezbollah penyebab terjadinya ledakan besar di Beirut, adalah tuduhan bermotif politik, yang hanya untuk menyalahkan Hezbollah, berusaha untuk "menyelesaikan skor politik".
Menurutnya, arah untuk menyalahkan Hezbollah sudah ada "sejak awal" yang dilempar oleh media dan beberapa "kekuatan politik", sejak ledakan terjadi.
"Intinya adalah bagi para pelaku kesalahan ini selalu berusaha untuk menemukan sesuatu yang dapat disalahkan kepada Hezbollah," katanya.
Nasrallah melanjutkan dengan mengingatkan semua pihak bahwa pihak Amerika Serikat (AS) telah menarik spekulasinya tentang adanya faktor "serangan" di balik terjadinya ledakan besar di Beirut.
Nasrallah menyerukanseluruh pihak Lebanon untuk "mengesampingkan konflik mereka," dengan mengatakan bahwa bencana tersebut telah mempengaruhi warga Lebanon dari semua sekte di negara yang terpecah itu.
“Kami menghadapi insiden mengerikan, pada tingkat kemanusiaan dan nasional, dengan segala bentuknya,” katanya.
"Ada yang tewas dan terluka dari semua sekte...Beirut adalah kota semua orang Lebanon, tidak peduli afiliasi agama dan sektarian mereka," tambahnya.
Ada krisis rezim, ada krisis negara, bahkan ada krisis eksistensi, ”pungkas Nasrallah. "Jika otoritas Lebanon gagal dalam tugas ini, tidak ada harapan."
Sementara itu, bukti awal yang dikeluarkan oleh para pejabat Lebanon menunjukkan bahwa ledakan tersebut karena adanya 2.750 metrik ton amonium nitrat yang sangat eksplosif yang dibiarkan tanpa pengawasan di pelabuhan selama hampir enam tahun.
Ada dokumen dari petugas bea cukai meminta pihak otoritas untuk memindahkan ribuan ton zat eksplosif itu berkali-kali, tetapi tidak pernah menerima balasan.
Presiden Lebanon Michel Aoun mengatakan pada Jumat pagi (7/8/2020), bahwa penyelidikan atas ledakan itu sedang berlangsung dan tidak menutup kemungkinan keterlibatan asing, meskipun banyak pihak mengatakan kemungkinan itu tidak mungkin.
“Penyebabnya belum ditentukan. Ada kemungkinan gangguan eksternal melalui roket atau bom atau tindakan lain," kata Aoun.
Ia menambahkan, pemeriksaan dilakukan dengan tiga tingkatan. “Pertama, bagaimana bahan peledak masuk dan disimpan. Kedua, apakah ledakan itu akibat kelalaian atau kecelakaan, dan ketiga kemungkinan adanya gangguan dari luar,” ujarnya.
Pemerintah juga telah menjanjikan penyelidikan segera, tapi banyak masyarakat Lebanon tetap skeptis dan mengatakan bahwa bencana pelabuhan Beirut hanyalah kasus baru dari sekian sikap pengabaian dan korupsi dari pemerintah Lebonan lakukan, yang telah membawa negara itu ke krisis terbesar sejak perang saudara Lebanon 1975-1990.