Trump Klaim AS Belum Miliki Bukti Keracunan Alexei Navalny: Kita Harus Fokus pada China, Bukan Rusia
Trump klaim pemerintahannya belum melihat bukti apa pun soal pemimpin oposisi Rusia itu diracun ketika perjalanan kembali ke Moskow dari Siberia.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
Tanggapan Boris Johnson tak berbeda jauh dengan komentar Merkel.
"Pemerintah Rusia sekarang harus menjelaskan apa yang terjadi pada Navalny," bebera Johnson.
Masih dikutip dari Daily Mail, Ketua Uni Eropa Ursula von der Leyen mengutuk 'tindakan keji dan pengecut'.
Sementara Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengecam serangan itu sebagai 'mengejutkan dan tidak bertanggung jawab.'
"Rakyat Rusia memiliki hak untuk mengekspresikan pandangan mereka secara damai tanpa takut akan pembalasan apapun, dan tentunya tidak dengan agen kimia," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Ullyot.
Baca: Alexei Navalny Tiba di Berlin untuk Perawatan Medis, Kondisi Kesehatannya Mengkhawatirkan
Kepala NATO Jens Stoltenberg mengutuk penggunaan 'mengejutkan' dari zat saraf tingkat militer yang, katanya, membuat penyelidikan 'penuh dan transparan' oleh Rusia menjadi lebih mendesak.
Kementerian Luar Negeri Italia dan Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne juga mengutuk keracunan Navalny.
Lebih jauh dari Merkel, Roettgen mengatakan dia tidak percaya bahwa Novichok bisa diberikan tanpa sepengetahuan Kremlin.
“Kami membutuhkan tanggapan yang jelas dan Eropa. Perlu ketangguhan melawan Rusia, karena itulah satu-satunya bahasa yang dipahami Putin, '' katanya kepada televisi ZDF.
Baca: Kanselir Jerman Angela Merkel Minta Rusia Selidiki Dugaan Keracunan Alexei Navalny
Dia juga menyarankan bahwa keracunan Navalny dimaksudkan untuk mengintimidasi pengunjuk rasa di Belarus yang menuntut pengunduran diri diktator yang didukung Putin.
"Ini adalah intimidasi simultan terhadap penduduk (Rusia) sendiri dan juga di Belarusia," katanya.
Kremlin telah mengisyaratkan penggunaan kekuatan militer untuk menopang rezim Alexander Lukashenko di Belarus, yang telah menghadapi protes massal sejak pemilihan yang disengketakan bulan lalu.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)