Pengunjuk Rasa di Thailand Kembali Turun ke Jalan, Tuntut Perubahan Politik
Pengunjuk rasa pro-demokrasi berkumpul di Ibu Kota Thailand, menuntut peubahan politik pada Sabtu (19/9/2020).
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
Para pengunjuk rasa percaya bahwa suara mereka dalam pemilihan umum yang lama tertunda tahun lalu telah diabaikan setelah Prayuth, mantan Jenderal Angkatan Darat, tetap menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand.
Diketahui, Prayuth menjabat dengan dukungan dari Senat yang tidak terpilih dan partai-partai kecil, meskipun partai pro-militer Palang Pracharat menempati urutan kedua.
Menyusul kudeta 2014, Prayuth membatalkan konstitusi negara dan meminta militer menulis piagam baru yang meningkatkan kekuasaan raja.
Dalam pemerintahan Prayuth, dia juga memungkinkan militer menunjuk Senat beranggotakan 250 orang yang akan memiliki suara dalam memilih perdana menteri baru.
Baca: Muslim di Thailand Desak Pemerintah Jadikan Hari Jumat Sebagai Hari Libur Dalam Pembicaraan Damai
Para pengunjuk rasa juga secara terbuka membahas monarki kuat Thailand di depan umum, dengan beberapa menyerukan agar itu direformasi dan kekuatan politiknya dikurangi.
Tingkat kritik dan debat publik ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern, karena kerajaan dilindungi oleh undang-undang lese majeste yang ketat yang dapat membawa hukuman penjara hingga 15 tahun.
Gerakan anti-pemerintah telah berkembang sejak pertengahan Juli, tetapi awalnya dimulai ketika pengadilan tertinggi Thailand pada bulan Februari memutuskan untuk membubarkan Partai Maju Masa Depan (FFP).
Aksu tersebut dipimpin oleh miliarder karismatik Thanathorn Juangroongruangkit, FFP memenangkan jumlah kursi parlemen tertinggi ketiga dalam pemilihan Maret 2019 dan dipandang sebagai ancaman bagi lembaga politik.
Pandemi virus corona menghentikan pergerakan sementara pada bulan Maret tetapi protes dilanjutkan ketika kasus infeksi mulai turun.
Baca: Hasil Lengkap Uji Coba Timnas U-19 Indonesia di Thailand dan Kroasia
Aktivis Hilang
Pada bulan Juni, hilangnya Wanchalerm Satsakit, seorang aktivis terkenal yang diculik di depan umum di luar apartemennya di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, menjadi pemicu yang mendorong orang untuk turun ke jalan.
Demonstrasi yang awalnya dipimpin oleh pemuda telah tumbuh secara konsisten lebih besar, menarik warga dari semua kelompok umur dan lapisan masyarakat di tengah meningkatnya ketidakpuasan atas ketidaksetaraan ekonomi yang meluas di Thailand.
Mook (21) yang belum lama ini lulus dari universitas mengatakan, dia berpartisipasi dalam protes untuk memperjuangkan "masa depan yang lebih baik".
"Kami tidak puas dengan pemerintah, ini sangat sederhana," katanya kepada Al Jazeera.