Teror Dahsyat di Nairobi dan Tanzania yang Mengubah Hidup Omar Nasiri (5)
Omar Nasiri bekerja untuk Dinas Intelijen Prancis, dan mengetahui betapa Dinas Rahasia Inggris ternyata tidak memahami anatomi gerakan radikalis.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Nasiri teringat cerita Asadullah di kamp Darunta, Jalalabad. Inilah Abu Hamza, yang kedua tangannya putus ketika percobaan membuat peledak nitrogliserine.
Orang itu rutin memberikan kotbah Jumat di masjid Finsbury Park London. Ke tempat itulah Nasiri bakal melanjutkan tugasnya memonitor Abu Hamza dan ceramah-ceramahnya yang provokatif.
Kini Nasiri tahu benar perbedaan Abu Qatada dan Abu Hamza. Ia melihat Abu Qatada jauh lebih berbahaya ketimbang Abu Hamza yang pidatonya membakar namun kosong.
Nasiri menyampaikan penilaiannya pada Gilles dan Daniel, agent handler dari dinas rahasia Inggris yang jadi pengawasnya. Tapi keduanya menganggap Abu Hamza lebih perlu diawasi.
Nasiri menentang, tapi ia tidak punya pilihan. Abu Hamza kini jadi pusat perhatiannya, meski Abu Qatada telah ia ketahui memiliki kontak intensif dengan Abu Zubayda dan Afghanistan.
Dinas Intelijen Inggris Tidak Paham Anatomi Radikalis
Nasiri juga mengungkapkan apa yang ia sebut kebodohan intelijen Inggris. Mereka sama sekali tidak memahami anatomi gerakan radikal dan bagaimana mereka bekerja.
Ini terlihat saat Daniel menawarkan skenario menjebak orang-orang radikal, untuk kemudian menangkapnya dengan barang bukti di tangan. Nasiri tertawa.
Begitu juga skenario menawarkan granat untuk dipasok ke Aljazair atau tempat manapun yang dibutuhkan orang-orang itu. Lagi-lagi Nasiri tertawa.
Intel Inggris itu begitu bodohnya, menganggap mereka para radikalis tidak tahu apa-apa tentang senjata. Di Afghanistan, segala jenis senjata, granat, bom, peledak lainnya dipelajari cermat dan detil.
“Mereka tidak berpikir panjang, atau berusaha mempelajari bagaimana musuh mereka bergerak. Mereka membiarkan fantasi mereka berkelana,” kata Nasiri.
Cara berpikir intelijen barat seperti itulah yang membuat mereka terlambat mencegah teror. Bahkan mereka tak menyadari teroris itu benar-benar sudah ada di depan matanya.
Nasiri sudah menjalani rutinitas sebagai mata-mata di London selama hampir dua tahun. Ia mulai jenuh. Ia merasa pekerjaannya banyak yang sia-sia. Ia ingin menikmati kehidupan normal, bersama Fatima.
Abu Hamza sudah berubah pendiriannya. Ia tidak lagi menyokong perjuangan radikalis Aljazair, setelah melihat kekejaman demi kekejaman mereka di luar batas.