Antrian Tak Terlihat di Capitol Arena pada Hari Terakhir Pemungutan Suara Pilpres AS
Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2020 terlihat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, terutama di hari terakhir pemungutan suara.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2020 terlihat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, terutama di hari terakhir pemungutan suara.
Begitulah yang diungkapkan reporter VOA Irfan Ihsan saat melaporkannya secara langsung dari Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (3/11/2020).
Irfan mengatakan pada hari terakhir pemungutan suara biasanya akan dihiasi antrian panjang masyarakat Negeri Paman Sam di tempat pemungutan suara (TPS).
Namun, tidak untuk kali ini.
Baca juga: Banyak Pemilih Muda Berpartisipasi dalam Pilpres AS, Rela Mengemudi 30 Jam Demi Berikan Suara
"Dari Washington DC sudah dimulai pemilihan (pemungutan suara) awalnya ini dari mulai seminggu yang lalu dan sekarang hari terakhir di tanggal 3 November," ujar Irfan dikutip Tribunnews.com dalam 'Liputan Live Pemilu AS' dari IG Live @opiniid, Selasa (3/11/2020).
"Kita suprise juga ya karena biasanya justru di hari H nya antrian itu terjadi panjang, tapi justru pada saat datang kesini beberapa hari yang lalu itu antrian terjadi. Tapi di hari H nya ini justru sudah tidak ada antrian," imbuhnya.
Irfan kemudian menunjukkan kameranya ke lokasi TPS berada yakni di Capitol Arena yang sepi.
Dia menjelaskan bahwa Capitol Arena merupakan salah satu TPS besar di Washington DC yang juga melayani atau buka di hari terakhir pemungutan suara.
"Saya kasih lihat disini ini suasananya (lengang dan sepi, - Red). Biasanya orang ngantri disini, ini untuk masuk ke dalamnya di Capitol Arena. Capitol Arena ini salah satu TPS yang dibuka di hari H dan salah satu yang terbesar juga, jadi sekarang tidak ada antrian," jelasnya.
Baca juga: Antisipasi Kerusuhan Akibat Pilpres, Toko-toko di AS Pilih Tutup
Menurutnya, tidak adanya antrian di Washington D.C. dan mungkin di negara bagian Amerika lainnya adalah karena pemungutan suara sudah dilakukan sejak seminggu yang lalu.
Belum lagi ada opsi baru, dimana masyarakat Amerika dapat memberikan suaranya dalam bentuk surat dan mengirimkannya melalui pos.
Pandemi Covid-19, kata Irfan, adalah penyebab opsi pemungutan suara dengan pos dilakukan.
Early voting begitu masyarakat Amerika menyebutnya dilakukan dengan tanggal yang berbeda-beda di tiap negara bagian.
"Kenapa tak ada antrian? Karena memang sebagian besar masyarakat di Amerika dan di Washington DC khususnya itu sudah melakukan pemilihan terlebih dahulu semenjak seminggu yang lalu atau melalui surat suara yang dikirimkan melalui pos atau mereka letakkan melalui drop box," kata Irfan.
"(Early voting) Sudah dilakukan, setiap negara bagian berbeda-beda. Untuk Washington DC itu di hari senin pada pekan lalu sudah dilakukan," ujarnya.
Ditentukan Electoral Collage
Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) akan berlangsung pada 3 November, dan sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).
Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.
Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.
Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.
Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.
Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.
Bagaimana cara kerja Electoral College?
Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.
Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.
California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.
Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.
Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.
Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.
Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.
Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".
Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.
Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.
Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?
Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.
Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.
Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.
Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.