Konflik Nagarno-Karabakh, PM Armenia Abaikan Ultimatum Tuntut Pengunduran Dirinya
PM Armenia Nikol Pashinyan mengabaikan ultimatum pengunjuk rasa yang minta dia berhenti karena kesepakatan mengakhiri pertempuran di Nagorno-Karabakh
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengabaikan ultimatum para pengunjuk rasa yang meminta dia berhenti karena kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran di Nagorno-Karabakh.
Ditekan oleh partai-partai oposisi, Parlemen Armenia diperkirakan akan mengadakan sesi darurat tentang masa depan politik Pashinyan.
Di bawah kesepakatan yang ditengahi Rusia, Azerbaijan mempertahankan wilayah yang telah direbutnya.
Mengutip BBC, ratusan penjaga perdamaian Rusia sudah dikerahkan di daerah sengketa.
Baca juga: 6 Minggu Perang, Armenia, Azerbaijan & Rusia Sepakat Damai dan Akhiri Konflik Nagarno-Karabakh
Baca juga: Konflik di Nagarno-Karabakh Masih Berlanjut, Azerbaijan Klaim Armenia Langgar Gencatan Senjata
Presiden Turki mengatakan pada Rabu (11/11/2020), pihaknya telah menandatangani kesepakatan dengan Rusia dan akan ambil bagian dalam "Pasukan Perdamaian Gabungan" untuk memantau kesepakatan tersebut.
Nagorno-Karabakh adalah daerah kantong yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Tetapi telah dikuasai oleh etnis Armenia sejak gencatan senjata tahun 1994.
Dalam enam minggu terakhir, pertempuran Azerbaijan tidak hanya merebut kembali daerah-daerah di sekitar kantong tetapi juga telah merebut kota utama Shusha di dalamnya.
Baca juga: Azerbaijan Hancurkan Gudang Amunisi Tentara Armenia
PM Armenia Didemo
Lebih jauh, ribuan pengunjuk rasa di Freedom Square di Ibu Kota Armenia.
Mereka meneriakkan "Nikol adalah pengkhianat" dan "Nikol, pergi".
Para demonstran juga mencela keputusan Pashinyan atas kesepakatan damai dengan Azerbaijan.
Meski Armenia dalam keadaan darurat militer dan aksi unjuk rasa dilarang, mereka tetap turun ke jalan dan mendemo sang Perdana Menteri.
Diketahui, Perdana Menteri Armenia itu didesak untuk mengundurkan diri pada tengah malam (21:00 GMT).
Menurut laporan media Armenia, lebih dari 100 orang ditahan dan kemudian dibebaskan.
Ratusan pengunjuk rasa kemudian menuju ke parlemen menuntut sesi darurat untuk mendorong pemecatan perdana menteri.
Laporan-laporan selanjutnya mengatakan pertemuan khusus telah diadakan atas permintaan dua partai oposisi.
Beberapa pengunjuk rasa mengatakan, perdana menteri seharusnya berkonsultasi dengan orang-orang sebelum menyetujui kesepakatan damai.
Seorang koresponden BBC di Yerevan melaporkan, mereka menuduhnya melanggar konstitusi,
Pashinyan menjabat setelah memimpin revolusi 2018 yang damai di negara pasca-Soviet.
Baca juga: Konflik Armenia vs Azerbaijan: Iran Kritik Upaya Perdamaian Kelompok Minsk atas Nagarno-Karabakh
Baca juga: Istri PM Armenia Jalani Pelatihan Militer dan akan Gabung dengan Pasukan Perang di Nagarno-Karabakh
Armenia Setuju Menarik Diri dari Azerbaijan
Berdasarkan ketentuan perjanjian untuk mengakhiri konflik atas Karabakh, Armenia telah setuju untuk menarik diri dari beberapa bagian kantong tersebut.
Selain itu, Armenia juga bersedia menarik diri dari daerah sekitarnya yang direbutnya dari Azerbaijan pada tahun 1990-an.
Berbicara melalui media sosial sebelumnya, Pashinyan bersikeras jika dia tidak setuju untuk menghentikan konflik, akan ada kerugian yang lebih besar.
Perdana menteri mengatakan dia telah mengambil keputusan "menyakitkan" menyusul "analisis mendalam tentang situasi militer" untuk menyetujui kesepakatan itu.
Tiga wilayah yang berdekatan dengan Karabakh - Aghdam, Lachin dan Kalbajar pun kembali ke Azerbaijan.
Tetapi setelah Shusha (Shushi dalam bahasa Armenia) di dalam Karabakh jatuh ke tangan Azerbaijan pada akhir pekan, dia mengatakan ada risiko "kehancuran total" dengan ribuan tentara Armenia dikepung dan kota utama kantong itu juga jatuh.
Baca juga: Azerbaijan Tak Sengaja Tembak Jatuh Helikopter Rusia, Terlihat Terbang Rendah selama Berjam-jam
Baca juga: Konflik Armenia vs Azerbaijan: Upaya Gencatan Senjata Ketiga Gagal
Bagaimana Memonitor Kesepakatan Itu?
Lebih jauh, Pashinyan menandatangani kesepakatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev untuk 1.960 pasukan penjaga perdamaian Rusia yang bersenjata untuk berpatroli di garis depan serta "koridor Lachin".
Koridor tersebut merupakan wilayah yang menghubungkan Nagorno-Karabakh ke Armenia.
Dalam sebuah pernyataan, Jenderal Sergei Rudskoy dari Staf Umum Rusia mengatakan, 16 pos pengamatan akan dipasang di "jalur kontak" untuk mencegah "tindakan ilegal" terhadap warga sipil dan pengawalan konvoi dan kargo.
Lebih dari 400 penjaga perdamaian telah tiba dan mengendalikan koridor Lachin, tambahnya.
Rusia memiliki aliansi militer dengan Armenia serta pangkalan militer.
Tetapi tidak ikut campur selama konflik.
Turki secara terbuka mendukung Azerbaijan selama konflik dan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan, pusat kendali Turki-Rusia akan didirikan di "bagian Azerbaijan yang dibebaskan" untuk memantau gencatan senjata.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)