Donald Trump Tak Lagi Berkuasa, Turki-Saudi Segera Mesra Kembali
Awal bulan ini, pertemuan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) melihat Arab Saudi dan sekutunya setuju untuk memulihkan hubungan dengan Doha.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, ANKARA - Dua tahun lalu, hubungan Turki dan Arab Saudi berada di titik terendah dalam sejarah dua kekuatan regional itu menyusul pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Istanbul.
Pembunuhannya terjadi Oktober 2018 di dalam Konsulat Arab Saudi. Agen-agen keamanan Saudi diduga kuat pelakunya. Jasad Khasoggi sampai hari ini belum ditemukan.
Turki melakukan penyelidikan dan mengecam keras pemerintah Saudi, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini.
Mereka menyoroti apa yang dikatakannya sebagai peran orang-orang dekat Putra Mahkota Mohammed bin Salman, penguasa de facto negara itu, di plot pembunuhan.
Namun, hari ini, hubungan antara Ankara dan Riyadh tampak di ambang kembali ke kemesraan.
Menurut laporan Aljazeera.com, Selasa (26/1/2021), sebagian berkat pemulihan kembali hubungan Qatar dan blok empat negara pimpinan Saudi yang memberlakukan embargo di Doha sejak 2017.
Baca juga: Dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan, 5 Pembunuh Jurnalis Arab Saudi Jamal Khasoggi Dihukum Mati
Baca juga: Blinken Akan Stop Dukung Saudi di Yaman, Haines Janji Buka Rahasia Pembunuhan Khasoggi
Awal bulan ini, pertemuan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) melihat Arab Saudi dan sekutunya setuju untuk memulihkan hubungan dengan Doha, termasuk membuka kembali wilayah udara dan perbatasan.
Langkah tersebut disambut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai "sangat bermanfaat". Dia menambahkan kerjasama Teluk akan dibangun kembali. Posisi itu akan membuat kerja sama Teluk lebih kuat.
Qatar Sediakan Diri Jadi Penengah Saudi-Turki
Qatar menawarkan diri menengahi Ankara dan Riyadh. “Jika kedua negara ini melihat Qatar memiliki peran dalam mediasi ini, maka dimungkinkan untuk dilakukan,” katanya.
“Ini adalah kepentingan semua orang ada hubungan persahabatan antara negara-negara ini," kata utusan khusus Qatar, Mutlaq al-Qahtani.
Sebelum pertemuan GCC, sudah ada tanda-tanda hubungan yang menghangat. Pada awal KTT G-20 pada November, Erdogan dan Raja Saudi Salman bin Abdulaziz berbicara melalui telepon.
Para pemimpin itu sepakat untuk menjaga saluran dialog tetap terbuka agar hubungan bilateral ditingkatkan dan masalah diselesaikan.
Menteri luar negeri negara-negara tersebut kemudian bertemu di konferensi Organisasi Kerja Sama Islam di Niger.
Sementara perpecahan telah menentukan banyak masalah di Timur Tengah dan Afrika Utara dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan politik di sisi lain dunia yang memainkan peran utama dalam membentuk sikap baru di Ankara dan Riyadh.
“Alasan utamanya adalah (mantan Presiden AS Donald) Trump kalah dalam pemilihan dan Arab Saudi berpikir jika (Presiden Joe Biden) akan menekan Riyadh maka mereka harus mencari opsi baru,” kata Ali Bakir, asisten profesor peneliti di Pusat Ibn Khaldun Universitas Qatar.
Baik Arab Saudi dan Turki mengantisipasi pemerintahan Biden yang akan datang akan secara drastis mengubah prioritasnya di wilayah tersebut.
Antara lain mundur dari kebijakan Trump yang tanpa henti menekan Iran. Pemerintahan Biden kemungkinan lebih menekankan isu hak asasi manusia.
"Jika pemerintahan Biden tidak menekan Riyadh, mereka tidak akan merasa berkewajiban untuk meningkatkan hubungan mereka dengan Ankara," kata Bakir seraya menambahkan "dukungan" Trump atas tindakan Saudi pada 2017 telah menyebabkan krisis Teluk.
Ahmet Evin, seorang ilmuwan politik di Pusat Kebijakan Istanbul Universitas Sabanci, menggambarkan Trump sebagai "berutang budi" kepada keluarga kerajaan Saudi.
"Tanpa Saudi, kerajaan real estat Trump akan bangkrut beberapa waktu yang lalu," katanya. “Kedua negara banyak berinvestasi secara politik dalam pemerintahan Trump, sebagian karena hubungan pribadi", kata Emre Caliskan, peneliti di Pusat Kebijakan Luar Negeri di London.
"Begitu Trump pergi, mereka harus mengubah nada dengan mengubah kebijakan," imbuhnya.
Efek Politik Arab Spring bagi Saudi dan Sekutunya
Kemerosotan hubungan Turki-Saudi mengemuka setelah gelombang politik Musim Semi Arab 2011, yang membuat Ankara mendukung kelompok-kelompok terkait Ikhwanul Muslimin.
Harapan mereka, bisa menempatkan pemerintahan di Negara-negara kawasan Teluk yang bersimpati kepada partai penguasa Turki yang berorientasi Islam.
Arab Saudi dan sekutunya sangat menentang Ikhwanul Muslimin dan telah mendeklarasikan kelompok tersebut sebagai organisasi "teroris".
Banyak di antara anggota IM di Arab Saudi meninggalkan negara asal mereka, dan mendirikan pangkalan di Istanbul.
Dukungan Turki untuk Mohamed Morsi, yang terpilih sebagai Presiden Mesir 2012, tetapi digulingkan militer setahun kemudian, adalah contoh utama dukungan Ankara untuk Ikhwanul Muslimin.
Jenderal yang menggulingkannya dan mengawasi tindakan keras terhadap pendukungnya, Abdel Fattah el-Sisi, didukung Riyadh.
Blokade Atas Qatar dan Kepentingan Saudi di Teluk
Krisis 2017 membuat Arab Saudi dan Mesir bergabung dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain untuk memutuskan hubungan diplomatik dan memberlakukan blokade di Qatar.
Kelompok negara itu menuduh Qatar mendukung terorisme dan terlalu dekat dengan saingan mereka Iran. Doha selalu membantah tuduhan tersebut.
Mereka juga mengeluarkan daftar tuntutan yang mencakup penutupan pangkalan militer Turki di Qatar dan mengakhiri semua hubungan dengan Ikhwanul Muslimin dan kelompok terkait.
Erdogan mengutuk sanksi tersebut, sementara parlemen Turki setuju untuk mengerahkan pasukan ke Qatar. Turki juga mengatur pengiriman makanan dan persediaan lainnya ke sekutunya yang terkepung.
Selanjutnya, Saudi, Emirat dan Mesir memblokir media Turki, serta opera sabun Turki yang populer, dan telah terjadi boikot tidak resmi atas barang-barang Turki.
Perpecahan itu diwujudkan di arena seperti Suriah, di mana kuartet Arab bergerak untuk menormalkan hubungan dengan rezim Bashar al-Assad.
Sebaliknya, Erdogan mempertahankan dukungan untuk kelompok pemberontak. Di konflik Libya, Turki mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli.
Sebaliknya, Arab Saudi , UEA, dan Mesir mendukung Libyan National Army (LNA) yang dipimpin Marsekal Khalifa Haftar.
Namun, " gesekan diplomatik" itu kini tidak lagi berkelanjutan, menurut Eyup Ersoy, dosen hubungan internasional di Universitas Ahi Evran Turki.
“Tarik ulur dalam geopolitik kawasan belum membawa supremasi yang jelas bagi masing-masing negara terhadap satu sama lain dan terus menimbulkan biaya politik dan ekonomi,” ujarnya.
Di sisi ekonomi, Turki didorong oleh kebutuhan untuk menarik investor luar negeri untuk menopang ekonominya yang goyah.
“Turki membutuhkan kesamaan dalam kebijakan luar negerinya untuk menarik investasi asing,” kata Ersoy.
Erdogan Berkepentingan Selamatkan Ekonomi
Aykan Erdemir, Direktur Senior Yayasan Pertahanan Demokrasi di Washington, mengatakan peningkatan hubungan perdagangan dengan Arab Saudi akan memperbaiki defisit neraca berjalan Turki yang semakin melebar.
"Sejak 1980-an, modal Saudi telah memainkan peran perintis di pasar Turki yang relatif terisolasi yang berusaha menarik investasi asing langsung," tambahnya. Politik telah menghentikan hubungan ini.
Normalisasi antara koalisi pimpinan Saudi dan Qatar telah menghilangkan penghalang rekonsiliasi antara Ankara dan Riyadh.
Program normalisasi lain, kali ini antara Israel dan beberapa negara Arab, yang dipimpin oleh UEA dan Bahrain, mengancam akan "menambah isolasi Turki saat ini dalam geopolitik regional", kata Ersoy.
"Penghindaran hasil seperti itu adalah faktor lain yang berkontribusi terhadap kemungkinan pemulihan hubungan dengan Arab Saudi untuk Turki," lanjutnya.
Evin berpendapat "komitmen ideologis" Erdogan kepada Ikhwanul Muslimin dapat menghalangi hubungan, tetapi Bakir mengatakan gerakan itu tidak lagi menjadi ancaman bagi negara-negara Arab.
"Mereka digunakan Emirat dan Saudi sebagai dalih untuk membenarkan tindakan mereka terhadap Qatar," katanya.
Sementara itu, permusuhan pribadi antara Erdogan dan putra mahkota Saudi, yang dikenal sebagai MBS, harus dijembatani untuk memajukan hubungan baik.
“Tantangan terbesar adalah hubungan pribadi antara Erdogan dan MBS, yang telah menjadi balas dendam pribadi untuk Erdogan sejak kasus Khashoggi,” katanya.
Langkah menuju hubungan yang lebih baik belum mengatasi persaingan mendasar antara Arab Saudi dan Turki di Afrika, Mediterania Timur, dan wilayah lain di mana Riyadh memandang jejak Turki sebagai ancaman.
Di Teluk, hubungan strategis antara Ankara dan Doha, termasuk pangkalan militer Turki, akan terus menghadirkan tantangan yang tidak menyenangkan bagi Arab Saudi.
Posisi Hubungan dengan Iran dan Turki
Kolaborasi Turki dan Iran, keduanya saling mendukung dalam menghadapi sanksi AS dan bekerja sama dengan Rusia untuk menyelesaikan perang Suriah, telah menjadi sumber peringatan lain bagi Saudi.
Di sisi lain, setiap langkah oleh pemerintahan Biden untuk mengurangi tekanan terhadap Iran dapat membuat Arab Saudi meminta bantuan Turki untuk menahan Teheran, saingan terbesar kerajaan itu.
Caliskan mengatakan enam bulan ke depan bisa dilihat AS atau Qatar bertindak sebagai mediator antara Turki dan Arab Saudi.
Ankara juga dapat berusaha untuk memisahkan hubungannya dengan Riyadh seperti yang telah dilakukan dengan Iran dan Israel, untuk memisahkan hubungan keuangan dari politik.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)