PBB: Tuduhan terhadap Suu Kyi Hanya Semakin Merusak Aturan Hukum dan Proses Demokrasi di Myanmar
Pengambilalihan kekuasaan oleh militer itu mempersingkat transisi di Myanmar dan menarik kecaman dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
Untuk memperkuat kekuasaannya, junta militer membentuk Dewan Pemerintahan Baru termasuk delapan jenderal dan dipimpin oleh Panglima Aangkatan Bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing.
Kudeta ini menyerupai massa ketika Myanmar di bawah kepemimpinan diktator selama hampir setengah abad hingga 2011.
Penerima Nobel Perdamaian Suu Kyi, masih tetap dalam penahanan meskipun ada panggilan internasional agar dibebaskan segera.
Seorang pejabat NLD mengatakan Suu Kyi menjadi tahanan rumah di ibu kota Naypyidaw dan dalam kondisi sehat.
Dalam protes publik terbesar terhadap kudeta sejauh ini, orang-orang di pusat komersial Kota Yangon meneriakkan "kejahatan hilang" dan menggedor panci logam pada Selasa (2/2/2021) malam dalam gerakan tradisional untuk mengusir karma jahat atau buruk.
Kudeta ini menandai kedua kalinya militer menolak untuk mengakui kemenangan pemilu yang dimenangkan NLD, setelah juga menolak hasil jajak pendapat tahun 1990 yang dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pemerintahan multi-partai.
Setelah protes massa yang dipimpin oleh biksu Buddha pada tahun 2007, para jenderal memutuskan jalan kompromi.
NLD berkuasa setelah pemilu 2015 di bawah konstitusi yang menjamin militer berperan dalam pemerintahan, termasuk beberapa kementerian utama, dan veto yang efektif tentang reformasi konstitusional.
Kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan setidaknya 45 orang telah ditahan militer Myanmar.
Pasukan dan polisi anti huru-hara berdiri di Yangon di mana penduduk berbondong-bondong ke pasar untuk menimbun persediaan dan yang lain berbaris di ATM untuk menarik uang tunai.
Bank menangguhkan layanan tetapi mengatakan mereka akan membuka kembali mulai Selasa (2/2/2021).
Penahanan itu muncul setelah berhari-hari ketegangan antara pemerintah sipil dan militer terjadi setelah pemilu terbaru, di mana partai Suu Kyi memenangkan 83 persen suara.
Baca juga: Negara Kelompok G7 Kecam Kudeta Militer di Myanmar
Baca juga: Sebelum Kudeta Militer, IMF Kirim Dana Darurat 350 Juta Dolar AS ke Myanmar
Pengambilalihan tentara akan menempatkan Myanmar "kembali di bawah kediktatoran", kata pernyataan yang telah ditulis sebelumnya di Facebook seperti mengutip Suu Kyi.
"Saya mendesak orang-orang untuk tidak menerima ini, untuk menanggapi dan dengan sepenuh hati untuk memprotes kudeta oleh militer," katanya.