Myanmar Memanas, Polisi Bentrok dengan Demonstran Penentang Kudeta Militer
Polisi mulai mengambil tindakan tegas terhadap para demonstran memprotes pengambilalihan kekuasaan atau kudeta militer Myanmar yang kembali turun ke
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, YANGON — Kondisi Myanmar kembali memanas, ketika polisi bentrok dengan demonstran penentang kudeta militer, Selasa (9/2/2021).
Polisi mulai mengambil tindakan tegas terhadap para demonstran memprotes pengambilalihan kekuasaan atau kudeta militer Myanmar yang kembali turun ke jalan pada Selasa (9/2/2021).
Polisi melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan demonstran yang menentang militer yang berkuasa setelah pemimpin terpilih secara sah Aung San Suu Kyi dan anggota partai berkuasa lainnya yang ditahan sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Para saksi melaporkan setidaknya dua tembakan ditembakkan ke udara untuk membubarkan kerumunan massa demonstran.
Kemudian para saksi mengatakan meriam air ditembakkan di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, untuk mencoba membuat kerumunan massa bubar.
Laporan di media sosial mengatakan polisi menangkap lebih dari dua lusin orang di sana.
Hal yang sama terjadi di ibukota Natpyitaw, polisi juga menggunakan meriam air dan melepaskan tembakan ke udara sehingga membuat orang-orang berlarian.
Para demonstran menuntut agar kekuasaan dikembalikan kepada pemerintah sipil yang digulingkan yakni Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Myanmar Makin Memanas, Kemlu Imbau WNI Tak Ikut Turut ke Jalan
Dekrit yang dikeluarkan Senin (8/2/2021) malam untuk beberapa daerah di Yangon dan Mandalay melarang unjuk rasa dan pertemuan lebih dari lima orang, dan memberlakukan jam malam pukul 20.00 hingga 04.00 pagi. Tidak diketahui persis apakah regulasi telah diberlakukan untuk daerah lain.
Demonstrasi juga terjadi di kota-kota lain, termasuk Bago - di mana para tetua kota bernegosiasi dengan polisi untuk menghindari konfrontasi kekerasan.
Kemudian demonstrasi juga berlangsung di Dawei, dan di negara bagian Shan utara.
Di Magwe di pusat Myanmar, di mana meriam air juga digunakan, laporan yang belum dikonfirmasi di media sosial, mengklaim beberapa petugas polisi telah berbalik untuk bergabung dengan jajaran demonstran. Seorang perwira polisi di Naypyitaw juga dikatakan telah berbalik mendukung.
Kerumunan demonstran juga di Yangon, kota terbesar di negara itu di mana ribuan orang telah berdemonstrasi sejak Sabtu pekan lalu, meskipun kehadiran keamanan meningkat. Tidak ada kekerasan yang dilaporkan terjadi.
Militer tampaknya belum dikerahkan untuk menghentikan demonstrasi.
Militer memiliki catatan kebrutalan dalam menghancurkan pemberontakan masa lalu serta dalam memerangi etnis minoritas di daerah perbatasan yang mencari penentuan nasib sendiri.
Militer juga telah dituduh melakukan genosida dalam kampanye kontrainsurgensi 2017 yang mendorong lebih dari 700.000 anggota minoritas Rohingya melintasi perbatasan untuk mencari keselamatan di Bangladesh.
Media negara untuk pertama kalinya pada Senin (8/2/2021) menyebut aksi protes tersebut membahayakan stabilitas negara.
"Demokrasi dapat dihancurkan jika tidak ada disiplin," demikian pernyataan dari Kementerian Penerangan, yang dibacakan di stasiun televisi negara MRTV.
"Kita harus mengambil tindakan hukum untuk mencegah tindakan yang melanggar stabilitas negara, keselamatan publik dan aturan hukum."
Namun, komandan militer yang memimpin kudeta dan sekarang pemimpin Myanmar tidak menyebutkan kerusuhan dalam pidato yang disiarkan televisi selama 20 menit Senin malam. Ini pidato perdananya kepada publik sejak pengambilalihan kekuasaan.
Gelombang demonstrasi ini adalah pembangkangan yang berkembang sangat mencolok di negara di mana demonstrasi pada masa lalu telah dipenuhi dengan kekuatan dan merupakan pengingat gerakan sebelumnya di negara Asia Tenggara itu, perjuangan panjang dan berdarah untuk demokrasi.
Militer menggunakan kekuatan mematikan untuk melawan demonstrasi besar-besaran tahun 1988 melawan kediktatoran militer dan pemberontakan tahun 2007 yang dipimpin oleh para biksu Buddha.
Dekrit yang dikeluarkan Senin (8/2/2021) malam untuk beberapa daerah di Yangon dan Mandalay melarang unjuk rasa dan pertemuan lebih dari lima orang, dan memberlakukan jam malam pukul 20.00 hingga 04.00 pagi. Tidak diketahui persis apakah regulasi telah diberlakukan untuk daerah lain.
Mayjen Senior Min Aung Hlaing justru mengulangi klaim tentang kecurangan pemungutan suara yang telah menjadi pembenaran pengambilalihan kekuasaan oleh militer, meskipun tuduhan itu dibantah oleh komisi pemilihan umum.
Dia menambahkan bahwa junta militer akan mengadakan pemilihan umum baru seperti yang dijanjikan dalam waktu setahun dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang.
Ia juga menjelaskan target kebijakan pemerintahan junta militer adalah melakukan pengendalian Covid-19 dan mengatasi krisis ekonomi.(AP/Reuters/AFP)