PBB Peringatkan Myanmar atas Tanggapan Keras Terhadap Pengunjuk Rasa
Utusan khusus dari PBB memperingatkan militer Myanmar tentang konsekuensi setiap tanggapan keras terhadap pengunjuk rasa kudeta Myanmar.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Utusan khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan militer Myanmar tentang konsekuensi untuk setiap tanggapan keras terhadap pengunjuk rasa, yang menentang kudeta awal bulan ini.
Hal ini disampaikan oleh juru bicara PBB melalui panggilan telepon dengan pemimpin militer Myanmar.
Pengunjuk rasa terus melakukan demonstrasi mengecam pengambilalihan kekuasaan pada 1 Februari 2020.
Mereka juga menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan beberapa petinggi lainnya.
Skala protes yang meletus pada Senin (15/2/2021) lebih kecil daripada demonstrasi sebelumnya.
Baca juga: Imbas Kudeta Militer, BPS: Ekspor ke Myanmar Bakal Turun
Baca juga: Aparat Keamanan Myanmar Mulai Menembaki Para Demonstran
Kerumunan lebih kecil berkumpul di dua tempat di Kota Yangon pada Selasa (16/2/2021), tepatnya di dekat kampus universitas utama dan di bank sentral.
Lewat aksi tersebut para pengunjuk rasa berharap staf bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.
Selama kudeta Myanmar, militer yang berkuasa memutus jaringan internat dua malam berturut-turut pada Selasa, sekira pukul 09.00 waktu setempat, koneksi internet kembali pulih.
Dikutip dari Reuters, utusan khusus PBB, Christine Schraner Burgener berbicara kepada Wakil Kepala Junta pada Senin (15/2/2021).
"Schraner Burgener menegaskan, hak berkumpul secara damai harus sepenuhnya dihormati dan para demonstran tidak dikenakan pembalasan," kata juru bicara PBB, Farhan Haq di PBB.
"Dia telah menyampaikan kepada militer Myanmar, dunia sedang mengawasi dengan saksama dan segala bentuk tanggapan keras kemungkinan besar memiliki konsekuensi yang parah," tambahnya.
Baca juga: Layanan Internet di Myanmar Diputus Hampir Total, Militer Kerahkan Pasukan ke Seluruh Negeri
Baca juga: Junta Militer Myanmar Kerahkan Pasukan ke Pembangkit Listrik, Tembaki Demonstran dan Tahan Jurnalis
Kendaraan Lapis Baja
Di sisi lain, aparat keamanan Myanmar mengerahkan kendaraan lapis baja untuk mengamankan aksi demonstrasi menentang kudeta militer di sejumlah wilayah.
Sebelum kejadian ini pada Selasa (8/2/2021) lalu, polisi bersikap respresif terhadap demonstran yang menolak pengambil-alihan kekuasaan dari pemerintahan yang sah di bawah Aung San Suu Kyi.
Polisi melakukan tindak kekerasaan saat membubarkan demonstran dan melakukan penembakan.
Seorang dokter mengatakan satu wanita mengalami luka tembak di bagian kepala.
Dokter mengatakan, wanita itu sedang kritis dan tidak mungkin selamat.
"Dia belum meninggal, dia berada di unit gawat darurat, tetapi 100 persen yakin cedera itu fatal," kata dokter, yang menolak untuk disebutkan namanya.
"Menurut X-ray, itu peluru asli," katanya.
Baik polisi maupun rumah sakit tidak menanggapi permintaan komentar.
Seorang pria mengalami luka di dada tetapi tidak dalam kondisi kritis.
"Masih belum jelas apakah dia terkena peluru asli atau peluru karet," kata dokter.
Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka akibat tertembak peluru karet yang diduga terjadi setelah polisi menembak pendemo.
Peristiwa ini terjadi setelah sebelumnya polisi menembakkan meriam air untuk mencoba membubarkan demonstran di Ibu Kota Naypyitaw.
Televisi pemerintah melaporkan korban luka-luka juga ada di pihak polisi selama upaya mereka untuk membubarkan demonstran.
Laporan ini membenarkan terjadinya bentrokan keras antara polisi dan demonstran di negara itu.
Baca juga: Takut Ditangkap Aparat, Warga Myanmar Patroli Malam Setelah Kudeta Militer
Kudeta Myanmar
Insiden ini menandai pertumpahan darah pertama sejak militer, yang dipimpin oleh panglima angkatan bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing.
Jenderal Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan Suu Kyi yang baru terpilih pada 1 Februari dan menahannya bersama politisi lain dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Militer menuduh, NLD menang dengan kecurangan--tuduhan yang dibantah oleh komite pemilihan umum.
Pada Selasa (9/2/2021) malam, polisi di Myanmar melakukan penggerebekan di markas NLD di Yangon, kata dua anggota parlemen NLD terpilih.
Baca juga: Aktivis Antikudeta Dikabarkan akan Ditangkap Militer Myanmar, Sekelompok Orang Serbu Rumah Sakit
Penggerebekan dilakukan oleh belasan personel polisi, yang memaksa masuk ke kantor NLD.
Demonstrasi ini adalah yang terbesar di Myanmar selama lebih dari satu dekade.
Sekaligus menghidupkan kembali kenangan hampir setengah abad lalu ketika pemerintahan militer melakukan tindakan represif dalam pemberontakan berdarah sampai militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011.
PBB menyerukan kepada pasukan keamanan Myanmar untuk menghormati hak rakyat untuk berunjuk rasa secara damai.
"Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap demonstran tidak dapat diterima," ujar Perwakilan PBB di Myanmar, Ola Almgren.
Baca juga: Layanan Internet di Myanmar Diputus Hampir Total, Militer Kerahkan Pasukan ke Seluruh Negeri
Berita MRTV yang dikelola pemerintahan militer mengatakan sebuah truk polisi telah dihancurkan para demonstran di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.
MRTV menunjukkan rekaman akibatnya, termasuk polisi yang terluka.
MRTV menggambarkan aksi protes tersebut diorkestrasi oleh orang-orang yang ingin membahayakan stabilitas bangsa dan telah bertindak agresif.
MRTV tidak menyebutkan kudeta atau demonstrasi lain di seluruh negeri.
Sebelumnya, para saksi mengatakan polisi menembak ke udara di Naypyitaw untuk membubarkan demonstrasi.
Polisi kemudian menembakkan meriam air, sementara para demonstran merespons dengan melemparkan batu, kata seorang saksi mata.
Video dari kota Bago, timur laut pusat komersial Yangon, menunjukkan polisi menghadapi kerumunan besar dan membubarkan mereka dengan meriam air.
Polisi menangkap setidaknya 27 demonstran di kota terbesar kedua Mandalay, termasuk seorang jurnalis, kata organisasi media domestik.
Kerusuhan telah menghidupkan kembali kenangan hampir setengah abad pemerintahan militer yang memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011, meskipun tidak pernah menyerahkan kendali keseluruhannya atas pemerintahan sipil Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015.
"Kami akan terus berjuang," kata aktivis pemuda Maung Saungkha dalam sebuah pernyataan, yang seraya menyerukan pembebasan tahanan politik dan berakhirnya "kediktatoran" militer.
Gerakan pembangkangan sipil, yang dipimpin oleh pekerja rumah sakit, telah mengakibatkan terjun bebasnya angka pengujian virus corona di Myanmar.
Myanmar telah menjadi salah satu negara dengan wabah virus corona terburuk di Asia Tenggara dengan 31.177 kasus kematian, dari lebih dari 141.000 kasus.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Srihandriatmo Malau)