Para Saksi Gambarkan Kekerasan pada Massa Protes Kudeta Myanmar Layaknya Zona Perang
Sabtu (20/2/2021) disebut sebagai hari pertumpahan darah terburuk selama protes massal di Myanmar.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Gigih
Setelah bernegosiasi dengan kepala kapal, para pelaut memberi tahu pengunjuk rasa untuk mengizinkan polisi lewat.
"Massa mendengarkan dan memberi jalan bagi polisi dan truk meriam air," tuturnya.
Sementara kerumunan orang membuka jalan untuk mobil-mobil itu, truk meriam air berhenti dan menghalangi jalan.
"Kemudian truk meriam air lainnya datang dari 35th Street dan tanpa peringatan mulai menyerang para pengunjuk rasa," katanya.
Segera setelah itu, polisi "mulai memukuli orang".
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada seorang wanita tua yang hanya menonton protes dari rumahnya dan polisi menyerangnya. Dia mengalami cedera kepala yang parah," katanya.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Ancam Demonstran akan Kehilangan Nyawa jika Teruskan Aksi Mogok Nasional
Timnya dipanggil oleh polisi untuk merawat dua pengunjuk rasa yang terluka yang ditahan di sebuah mobil polisi.
"Salah satu kepalanya terbelah dan perlu dijahit. Yang lainnya memiliki dua luka tembak di sisi paha. Dari apa yang saya lihat, itu tidak terlihat seperti peluru karet. Pasien terlalu banyak mengeluarkan darah," katanya.
Dokter meminta polisi membebaskan kedua orang yang terluka itu sehingga dia bisa memberi mereka perawatan medis darurat, tetapi polisi menolak.
"Saya hanya bisa memberi mereka antiseptik dan membalut luka yang terbuka," tuturnya.
Dari sana, dokter dan timnya pergi ke 40th Street, di mana situasinya "jauh lebih buruk".
Di lokasi tersebut, beberapa pengunjuk rasa "terluka parah", termasuk seorang dengan luka tembak di perut yang sedang dirawat oleh dokter lain.
"Kami bisa melihat tanah meledak, karena disemprot dengan peluru," kenangnya.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Ancam Demonstran akan Kehilangan Nyawa jika Teruskan Aksi Mogok Nasional
Seorang aktivis mahasiswa di Mandalay, yang juga berbicara dengan syarat anonim karena alasan keamanan, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pada siang hari, pengunjuk rasa berisiko "ditangkap, dipukuli atau ditembak".