Pemimpin Militer Myanmar Desak Hidupkan Kembali Ekonomi saat Tekanan Barat Meningkat
Pemimpin junta militer Myanmar menyerukan menghidupkan kembali ekonomi yang mengalami krisis di tengah tekanan negara-negara Barat.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Theresia Felisiani
Menteri luar negeri Uni Eropa merilis pernyataan yang mengatakan mereka "siap untuk mengadopsi langkah-langkah pembatasan." Sanksi itu akan berupa larangan perjalanan dan pembekuan aset, serta meninjau kerja sama pembangunan dan akses bebas tarif Myanmar ke Uni Eropa.
Namun, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan dalam konferensi pers, bahwa preferensi perdagangan khusus yang memberi Myanmar akses bebas tarif ke 450 juta konsumen Uni Eropa tidak akan ditarik, untuk menghindari pekerja termiskin.
"Saya menentang kemungkinan pembatalan (preferensi perdagangan)," katanya, merujuk pada perjanjian Uni Eropa yang memungkinkan Myanmar menjual barang kecuali bebas tarif senjata ke Uni Eropa.
"Kami tidak akan melakukan itu. Ini akan sangat membuat menderita warga, ribuan pekerjaan akan hilang, terutama pekerjaan yang dipegang oleh wanita di sektor tekstil. Dan itu tidak akan membahayakan militer," kata Borrell.
Baca juga: Amerika Serikat Jatuhkan Sanksi kepada Dua Jenderal Myanmar
Pemerintah Uni Eropa telah mengutuk kudeta dan anggota parlemen Uni Eropa mendorong segera diambil sanksi.
“Langkah-langkah yang lebih menghukum pada individu dan pada bisnis yang dimiliki oleh militer itu yang mungkin,” kata Borrell.
Seorang diplomat Uni Eropa mengatakan kepada Reuters bahwa di luar menargetkan individu dan pembekuan aset di bank-bank Eropa, sanksi terhadap konglomerat yang dimiliki oleh militer adalah cara juga akan diambil ke depannya.
"Amerika sudah melakukan ini," kata diplomat itu.
"Uni Eropa sekarang harus berpikir untuk melakukan sesuatu dengan besaran yang sama untuk menunjukkan bahwa jenis aktivitas parasit ini tidak lagi dapat ditoleransi".(Reuters/Channel News Asia/AFP/AP)