Krisis Myanmar
Pemimpin Militer Myanmar Desak Hidupkan Kembali Ekonomi saat Tekanan Barat Meningkat
Pemimpin junta militer Myanmar menyerukan menghidupkan kembali ekonomi yang mengalami krisis di tengah tekanan negara-negara Barat.
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Pemimpin junta militer Myanmar menyerukan upaya untuk menghidupkan kembali ekonomi yang mengalami krisis di tengah tekanan negara-negara Barat berupa sanksi.
Negara-negara Barat menjatuhkan banyak sanksi untuk menekan para jenderal Myanmar agar tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap demonstran anti-kudeta.
Seperti dilansir Reuters dan Channel News Asia, Rabu (24/2/201), seruan untuk fokus pada ekonomi muncul setelah aksi mogok kerja massal yang mengakibatkan penutupan semua bisnis pada Senin (22/2/2021) dan ribuan demonstran berkumpul untuk mengecam kudeta militer 1 Februari lalu.
Demonstran menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, meskipun ada peringatan dari pihak berwenang bahwa konfrontasi bisa memakan korban jiwa.
Baca juga: Kemlu RI Bantah Menlu Retno akan Berkunjung ke Myanmar
Penentang kudeta berkumpul lagi pada Selasa (23/2/2021), meskipun dalam jumlah yang jauh lebih kecil.
Ada juga pawai kecil yang mendukung militer, lapor media.
Panglima tertinggi militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, dalam pertemuan dengan dewan penguasanya pada hari Senin, menyerukan agar belanja negara dan impor dipotong dan ekspor ditingkatkan.
"Dewan perlu mencurahkan energinya untuk menghidupkan kembali perekonomian negara yang sedang sakit. Langkah-langkah ‘obat’ ekonomi harus diambil," katanya seperti dikutip media.
Militer merebut kekuasaan setelah dugaan kecurangan dalam pemilu 8 November lalu, menahan Aung San Suu Kyi dan banyak tokoh sipil lainnya.
Komisi pemilihan umum menolak keluhan kecurangan.