AS dan Inggris Jatuhkan Sanksi terhadap Perusahaan yang Dikendalikan Militer Myanmar
Amerika Serikat (AS) dan Inggris Raya menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang dikendalikan oleh militer Myanmar pada Kamis (25/3/2021).
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) dan Inggris Raya menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang dikendalikan oleh militer Myanmar pada Kamis (25/3/2021).
Sanksi ini diberikan menyusul kudeta Myanmar sejak 1 Februari 2021 oleh para jenderal Burma dan tindakan keras yang mematikan.
Washington menyebut langkah ini sebagai tanggapan atas "kekerasan dan pelanggaran yang ekstrem".
Departemen Keuangan AS mengatakan sanksi tersebut menargetkan Myanma Economic Holdings Public Company Ltd (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation Ltd (MEC).
Baca juga: Jaringan Rahasia Bantu Ratusan Polisi Myanmar Melarikan Diri ke India
Baca juga: Menlu RI dan Singapura Desak Myanmar Lakukan Rekonsiliasi
Mengutip Al Jazeera, Inggris menjatuhkan sanksi serupa pada MEHL.
Pihak terkait mengatakan sanksi tersebut diberikan karena pelanggaran HAM serius militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya.
Perwakilan dari dua entitas, yang mengendalikan sebagian besar ekonomi Myanmar tidak segera berkomentar.
Tindakan tegas yang diumumkan Kamis (25/3/2021) merupakan yang paling signifikan sejauh ini terhadap kepentingan bisnis militer Myanmar.
Untuk diketahui, bisnis yang dijalankan berkisar dari bir, rokok hingga telekomunikasi, ban, pertambangan, serta real estat.
Baca juga: Demonstran Antikudeta Myanmar Lakukan Serangan Diam Usai Bocah 7 Tahun Tewas Tertembak Militer
Kecam Penggunaan Kekuatan Mematikan
Tak lama setelah pengumuman itu, Departemen Luar Negeri AS mengutuk penggunaan kekuatan mematikan oleh pihak berwenang di Myanmar selama akhir pekan yang mengakibatkan kematian sedikitnya 27 orang, termasuk beberapa anak.
"Tindakan yang menjijikkan dan brutal terhadap anak-anak ini, salah satunya anak tujuh tahun yang ditembak dan dibunuh di rumahnya saat duduk di pangkuan ayahnya," kata Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price dalam sebuah pernyataan.
"Selanjutnya menunjukkan sifat mengerikan dari serangan rezim militer Burma terhadap rakyatnya sendiri,"tambahnya.
Langkah Washington membekukan semua aset yang dipegang oleh entitas di AS merupakan yang terbaru dari serangkaian sanksi menyusul pengambilalihan militer yang menargetkan bank sentral Myanmar serta para jenderal tinggi.
Penunjukan tersebut melarang perusahaan atau warga AS untuk berdagang atau melakukan transaksi keuangan dengan yang terdaftar.
Sebab, hampir semua pembayaran dolar jelas melalui lembaga keuangan AS, langkah tersebut secara efektif mengeluarkan perusahaan-perusahaan yang masuk daftar hitam dari sistem perbankan AS.
Baca juga: AS Siapkan Sanksi Terbaru Sasar Dua Konglomerat yang Dikendalikan Junta Militer Myanmar
Tindakan Menggangu
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan militer Myanmar "telah mengambil tindakan yang semakin mengganggu yang ditujukan pada warganya sendiri sejak 1 Februari".
"Tindakan ini secara khusus akan menargetkan mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan aliran dana yang mendukung penindasan brutal militer Burma," katanya.
"Mereka tidak ditujukan pada orang-orang Burma," tambah Blinken.
"Amerika Serikat dan Inggris telah menunjukkan bahwa kami akan menindaklanjuti janji kami untuk mempromosikan pertanggungjawaban atas kudeta dan kekerasan yang menjijikkan dan pelanggaran lain yang telah kami lihat dalam beberapa pekan terakhir," kata Blinken.
Baca juga: Bocah 7 Tahun Ini Jadi Korban Termuda yang Ditembak Mati Tentara Myanmar, Ia Tewas di Pangkuan Ayah
Seruan Lebih Banyak Sanksi untuk Myanmar
Pada sidang Senat AS, Senator Ed Markey yang merupakan Ketua Subkomite Asia dari Partai Demokrat, mengatakan dia menyambut baik sanksi terbaru tetapi menyerukan lebih banyak.
"Lebih banyak yang harus dilakukan untuk menyangkal garis kehidupan ekonomi tentara dan menyangkal senjata perang. Amerika Serikat harus memainkan peran utama dalam mendesak mitra dan sekutu kami, termasuk anggota ASEAN, untuk mengambil langkah-langkah untuk memotong pendanaan untuk militer," katanya.
Pernyataannya mengacu pada Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) Asia Tenggara.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Bebaskan Ratusan Demonstran
Kesulitan Berbisnis
Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) menyambut baik langkah AS tetapi juga mendesak lebih banyak langkah.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan sanksi itu akan membuat para konglomerat kesulitan berbisnis dengan perusahaan luar.
"Ini adalah langkah yang sangat penting tetapi ini bukanlah sanksi ekonomi terbesar yang dapat diterapkan," kata direktur advokasi HRW Asia, John Sifton.
Sifton menambahkan bahwa Washington juga harus menargetkan pendapatan Myanmar dari usaha patungan gas alam dengan perusahaan internasional.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Bebaskan Ratusan Demonstran
Global Witness mendesak Uni Eropa untuk juga menjatuhkan sanksi pada kepentingan bisnis militer dan mengatakan Inggris harus mengikuti AS dalam menyasar MEC.
Ketika mengumumkan sanksi, AS mengeluarkan beberapa lisensi yang memberikan pengecualian untuk transaksi resmi pemerintah AS dan transaksi organisasi internasional dan non-pemerintah.
Satu lisensi mengizinkan transaksi yang diperlukan untuk menghentikan bisnis yang melibatkan MEC dan MEHL atau entitas apa pun yang mereka miliki hingga 22 Jun 2021.
Berita lain terkait Myanmar
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)