Detik-detik Penghancuran Kantor Media di Jalur Gaza, Israel Hanya Beri Waktu Sejam Evakuasi
Israel mengklaim gedung itu jadi target militer yang sah karena dijadikan pusat pengumpulan intelijen dan tujuan lain oleh kelompok Hamas.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, KOTA GAZA – Militer Israel Sabtu (15/5/2021) menghancurkan menara Al Jalaa, gedung berlantai 11 di Jalur Gaza, yang jadi pusat kegiatan jaringan media Al Jazeera dan kantor berita Associated Press.
Video pengeboman tersiar luas, sangat dramatis. Dua sayap bangunan rontok dalam beberapa detik setelah bom menghantam dasar gedung yang lampunya masih tampak menyala.
Israel mengklaim gedung itu jadi target militer yang sah karena dijadikan pusat pengumpulan intelijen dan tujuan lain oleh kelompok Hamas yang mengontrol Jalur Gaza.
Pengeboman berlangsung terencana, terkoordinasi, dan satu jam sebelum bom-bom berledakan, intelijen Israel telah memberitahu seisi gedung dan pemiliknya.
Kantor berita Associated Press yang berpusat di AS, dan Al Jazeera yang bermarkas di Doha, Qatar, mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk pemboman itu.
Presiden dan CEO AP Gary Pruitt mengatakan mereka merasa terkejut dan ngeri militer Israel menargetkan dan menghancurkan gedung itu.
Baca juga: Cerita Warga Gaza di Tengah Serangan Israel: Melewati Setiap Malam dengan Rasa Takut
Baca juga: Cerita Korban Serangan Israel di Jalur Gaza, Anak-anak Teriak dan Menangis, Momen Itu Mengerikan
Sebab, kata Gary Pruitt, dikutip dari Aljazeera, Minggu (16/5/2021), Israel telah lama tahu kantor biro mereka ada di gedung itu.
"Kami akan cari tahu dari pemerintah Israel dan Departemen Luar Negeri AS untuk mencoba mempelajari masalah ini lebih lanjut," katanya.
Pruitt mengakui, biro menerima peringatan sejam sebelumnya dari Israel, dan meminta mereka mengevakuasi diri dari gedung.
“Selusin jurnalis AP dan freelancer berada di dalam gedung dan untungnya kami bisa mengevakuasi mereka tepat waktu,” pungkasnya.
Sementara Al Jazeera menuduh pemerintah Israel mencoba membungkam media yang menyaksikan, mendokumentasikan, dan melaporkan apa yang terjadi di Gaza.
"Ini adalah kejahatan di antara serangkaian kejahatan yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza," kata Kepala Biro Al Jazeera Yerusalem, Walid al-Omari.
Setelah pemboman menara, seorang pembawa berita Al Jazeera edisi bahasa Inggris menyatakan tetap mengudara. “Saluran ini tidak akan dibungkam. Al Jazeera tidak akan dibungkam," katanya.
Detik-detik Sebelum Bom Menghantam Gedung
Lantas bagaimana momen-momen sebelum bom menghantam bangunan jangkung di Jalur Gaza itu? Jurnalis lepas Palestina, Youmna al-Sayed, hanya memiliki waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke tempat aman.
Gedung berlantai 11 itu hanya memiliki satu lift yang berfungsi. Di bangunan itu terdapat 60 apartemen hunian, kantor media Al Jazeera Media Network dan The Associated Press, serta beberapa kantor layanan lain.
"Kami memprioritaskan lift untuk orang tua dan anak-anak saat evakuasi," kata Youmna al-Sayed. “Kami semua berlari menuruni tangga dan siapa pun yang bisa membantu anak-anak menurunkan mereka," tambahnya.
“Saya sendiri membantu dua anak penghuni di sana dan saya membawa mereka ke bawah, semua orang berlari cepat,” imbuhnya.
Beberapa saat sebelumnya, pihak Israel, yang telah membombardir Gaza selama enam hari berturut-turut, memberi peringatan lewat telepon ke semua yang ada di gedung.
Mereka diberi waktu sejam meninggalkan bangunan itu, sebelum jet-jet tempur Israel akan menggempurnya.
Safwat al-Kahlout dari Al Jazeera juga harus bergerak cepat. Dia dan rekan-rekannya mulai mengumpulkan peralatan sebanyak yang mereka bisa bawa.
“Mulai kelengkapan pribadi dan peralatan kantor, terutama kamera", kata al-Kahlout. Tapi waktu sejam tidak cukup buat mereka.
“Beri saya waktu 15 menit,” seorang jurnalis AP memohon melalui telepon ke seorang perwira intelijen Israel.
“Kami punya banyak peralatan, termasuk kamera, dan lain-lain,” imbuhnya dari luar gedung. "Aku bisa mengeluarkan semuanya," kenangnya waktu itu.
Jawad Mahdi, pemilik gedung, juga mencoba mengulur waktu.
"Yang saya minta adalah membiarkan empat orang ... masuk ke dalam dan mengambil kamera mereka," katanya kepada petugas itu.
"Kami menghormati keinginan Anda, kami tidak akan melakukannya jika Anda tidak mengizinkannya, tetapi beri kami 10 menit," desak Jawad Mahdi.
“Tidak akan ada 10 menit,” jawab petugas intelijen Israel itu. "Tidak ada yang diizinkan memasuki gedung, kami sudah memberi Anda waktu satu jam untuk mengungsi," imbuhnya.
Ketika permintaan itu ditolak, Mahdi berkata, “Kamu telah menghancurkan pekerjaan hidup kami, kenangan, hidup. Saya akan menutup telepon, melakukan apa yang Anda inginkan. Oh Tuhan," katanya.
Klaim Israel bahwa ada kepentingan intelijen militer Hamas di gedung itu menurutnya tidak cukup bukti.
“Saya telah bekerja di kantor ini selama lebih dari 10 tahun dan saya tidak pernah melihat sesuatu yang (mencurigakan),” kata al-Kahlout.
"Saya bahkan bertanya kepada rekan-rekan saya apakah mereka melihat sesuatu yang mencurigakan dan mereka semua menegaskan tidak pernah melihat aspek militer atau bahkan para pejuang keluar masuk," tambahnya.
“Di gedung kami, kami memiliki banyak keluarga yang kami kenal selama lebih dari 10 tahun, kami bertemu satu sama lain setiap hari dalam perjalanan keluar-masuk kantor,” katanya.
Presiden dan CEO Associated Press Gary Pruitt memperkuat penjelasan itu. Selama 15 tahun berkantor di bangunan itu, Ap tidak merasa ada kehadiran kelompok Hamas.
Wartawan AP, Fares Akram, mengenang momen penghancuran gedung itu bercerita, dia tidur di kantor setelah malam yang panjang melelahkan meliput pengeboman Israel.
Tiba-tiba teman-temannya berteriak, “Evakuasi! Pengungsian!". Akram mengambil apa yang dia bisa bawa. Laptop, beberapa barang elektronik, dan beberapa barang dari mejanya.
Drone dan Tiga Jet Tempur F-16 Hajar Gedung Al Jalaa
Ia berlari menuruni tangga, melompat ke mobilnya, lalu kendaraannya menderu menjauh dari bangunan itu.
Ketika dia sudah cukup jauh, Akram menghentikan mobilnya dan keluar untuk melihat kembali ke menara.
Dia mengatakan dia menyaksikan serangan pesawat tak berawak menghantam gedung, diikuti tiga serangan lebih kuat dari jet tempur F-16.
“Awalnya, itu tampak seperti lapisan dari sesuatu yang runtuh. Saya memikirkan semangkuk keripik kentang, dan apa yang mungkin terjadi jika Anda menghantamkan tinju ke dalamnya,” katanya memberi gambaran.
“Kemudian asap dan debu menyelimuti segalanya. Langit bergemuruh. Bangunan yang menjadi rumah bagi beberapa orang, kantor bagi orang lain dan keduanya bagi saya menghilang dalam selubung debu,” tulis Akram menceritakan kisahnya.
Al-Sayed, yang telah meliput pemboman Israel untuk Al Jazeera dan telah bekerja untuk AP, mengatakan dia tidak dapat memahami ancaman apa yang dapat ditimbulkan oleh sebuah bangunan yang menampung keluarga dan kantor pengacara, dokter, dan pekerja media.
“Di mana Hamas atau anggota militer lainnya yang mungkin berada di gedung ini? " tanya warga Gaza itu.
“Orang-orang di sini, para penghuni, semuanya saling kenal. Lima lantai pertama adalah untuk kantor yang (tutup) selama masa eskalasi ini. Jadi pada dasarnya yang (masih di sini) adalah dua kantor media Al Jazeera dan AP dan tempat tinggal,” bebernya.
Namun, pada pukul 3.12 sore waktu setempat (12:12 GMT), serangan Israel pertama datang. Lima menit kemudian, menara Al Jalaa runtuh dihantam tiga rudal.
“Kenangan bertahun-tahun, bertahun-tahun bekerja di gedung ini, tiba-tiba semuanya menjadi puing-puing,” kata al-Kahlout, tentang menara yang atapnya sering ia pancarkan. "Lenyap begitu saja," imbuhnya.
Islam az-Zaeem, seorang pengacara yang bekerja di gedung itu, sedang berada di rumah ketika sepupunya, pemilik gedung Johara yang diratakan pada 13 Mei, mengetuk pintu rumahnya.
Ia memberitahu al-Jalaa akan dihancurkan. "Saya berlari ke gedung dan melihat penghuni dan karyawan lainnya berkumpul di luar," kata az-Zaeem kepada Al Jazeera.
“Saya masuk ke dalam dan naik tangga karena listrik padam dan elevator tidak berfungsi. Saya histeris, dan jatuh beberapa kali dalam kegelapan, berteriak dan menangis," kenangnya.
Az-Zaeem, yang mengatakan 9 partner pengacara dan 4 tenaga magang bekerja di lantai yang disewanya, meninggalkan gedung lima menit sebelum diratakan.
“Bahkan setelah gedung itu runtuh, saya terus berteriak saya lupa mengunci pintu kantor saya,” katanya. "Bayangkan itu," pekiknya emosional.
Bangunan itu, dibangun pada pertengahan 1990-an, adalah salah satu gedung tinggi tertua di Kota Gaza.
Fares al-Ghoul, Direktur Eksekutif Mayadeen Media Group, mengatakan perusahaannya sebelumnya berbasis di gedung Shorouq, yang dihancurkan rudal Israel pada 13 Mei.
"Lantai atas Shorouq menjadi sasaran perang 2014," katanya.
“Pada 2019, kami memindahkan perusahaan ke gedung al-Jalaa karena menurut kami akan lebih aman, karena menampung kantor-kantor agensi media internasional.”
“Sekarang keduanya telah dihancurkan,” katanya.
Usaha Israel Menutup Liputan di Jalur Gaza
Pemboman al-Jalaa, yang secara luas dikutuk sebagai upaya untuk membungkam wartawan yang meliput serangan Israel, terjadi hanya beberapa jam setelah serangan udara Israel ke kamp pengungsi Shati menewaskan 10 anggota keluarga yang sama.
Ada 8 anak, dua wanita yang merayakan Idul Fitri, tewas akibat serangan itu. Laporan terkini, setidaknya 145 warga Palestina, termasuk 39 anak-anak, tewas di Jalur Gaza sejak serangan udara Israel dimulai Senin lalu.
Sekitar 950 lainnya terluka. Kekerasan terjadi setelah rencana Israel untuk secara paksa memindahkan keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Konflik disusul bentrok yang meluas ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, Tepi Barat yang diduduki, dan di dalam Israel.
Hamas yangberkuasa di Jalur Gaza, menembakkan ratusan roket ke Israel sebagai tanggapan atas tindakan keras Israel itu. Sedikitnya sembilan orang juga tewas di Israel.
Sesudah menara Al Jalaa hancur lebur, keluarga dan jurnalis yang semula berkantor di bangunan itu, mendekati reruntuhan.
Berharap bisa menyelamatkan beberapa barang mereka yang terkubur di bawah reruntuhan.
“Satu orang kembali untuk mencari beberapa lukisan yang dibuat oleh putrinya karena lukisan-lukisan ini membawa banyak kenangan,” kata al-Kahlout.
Jurnalis ini melanjutkan laporannya dari jalan-jalan di daerah kantong yang dibombardir.
“Kami pindah ke luar dan sekarang menerapkan rencana darurat kami untuk pelaporan. Kami mencoba untuk aman. Tidak ada tempat yang aman di Gaza tetapi kami berusaha melakukan yang terbaik,” katanya.
Beberapa jurnalis lain, termasuk Al Sayeed, berusaha menuju Rumah Sakit al-Shifa di Jalur Gaza, yang diyakini jadi tempat aman untuk menyiarkan.
“Saya bekerja di tempat itu dan hati saya hancur melihatnya runtuh. Itu tragis. Di setiap tempat baik kami bekerja atau tinggal, kami memiliki kenangan yang luar biasa, ”tambahnya.
“Di Gaza, bukan hal mudah mendapatkan apartemen, dan sekarang hanya dalam hitungan menit, mereka kehilangan segalanya,” kata al Sayeed.
“Kata-kata tidak dapat menggambarkan jumlah kehancuran, tidak dapat menggambarkan tragedi yang dialami orang-orang itu,” imbuhnya.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)