Kemlu Jawab Simpang Siur ‘Vote No’ Indonesia di Sidang PBB Terkait Genosida dan R2P
Di tahun 2005, Indonesia memberikan suara untuk mendukung agenda tersebut dan Indonesia sudah jelas, tidak memiliki posisi berbeda dengan posisi negar
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ramai dibahas di media sosial terkait sikap Indonesia yang memberikan ‘vote no’ terkait resolusi ‘responsibility to protect (R2P) and the prevention of genocide, war, crimes, ethnic cleansing, and crimes against humanity’.
Kementerian luar negeri (Kemlu) lewat Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja Sama Multilateral Febrian A Rudyard akhirnya angkat suara dan mengklarifikasi kesimpangsiuran informasi mengenai resolusi yang diambil Indonesia itu, lewat konferensi pers secara virtual, Kamis (20/5/2021).
Febrian menjelaskan bahwa resolusi tersebut bukan resolusi substantif, tapi resolusi yang bersifat prosedural, dimana negara Kroasia mengusulkan pembahasan mengenai R2P dibahas dalam mata agenda tersendiri.
Padahal pembahasan ini sudah ada agendanya sejak tahun 2005 dalam Outcome of the World Summit.
“Konsep R2P ini telah diadopsi oleh SMU PBB pada saat adanya World Summit tahun 2005 dimana dalam World summit tersebut salah satu isi resolusi adalah menyampaikan mengenai konsep R2P ini,” kata Febrian, Kamis (20/5/2021).
Di tahun 2005, Indonesia memberikan suara untuk mendukung agenda tersebut dan Indonesia sudah jelas, tidak memiliki posisi berbeda dengan posisi negara-negara pada saat menerima konsep R2P.
Febrian menegaskan, artinya konsep R2P ini bukan barang baru lagi dan sudah dibahas sejak dulu dan Indonesia selalu terlibat dalam pembahasan.
Baca juga: China Sebut Hak Veto Amerika Serikat Lemahkan Dewan Keamanan PBB Atas Kejahatan Perang Israel
Pada tahun 2017, negara Australia bersama Ghana mengajukan permintaan melalui surat agar pembahasan R2P dibentuk suatu agenda tambahan atau supplementary agenda item dalam waktu 1 tahun.
“Jadi setelah dibahas dari 2009 sampai 2017 di bawah mata agenda yang sudah tetap. Kemudian ada permintaan tahun 2017 agar dibuat suatu supplementary agenda untuk membahas R2P tersendiri di luar dari work outcome of the world summit,”.
“Dan ini janjinya hanya 1 tahun. Kemudian itu ada diputuskan di General Committee. General Committee ini adalah salah satu biro di majelis umum, yang membahas agenda-agenda apa yang akan menjadi pembahasan dalam masa sidang yang berjalan,”.
Febrian mengatakan memang ada janji yang terus-terusan yang tidak ditepati, tapi kemudian tahun 2021 muncul usulan untuk membuat agenda sendiri.
“Jadi tidak lagi supplementary tapi tersendiri. Di titik ini ada satu perbedaan pandangan dengan kita. Karena bagi Indonesia sudah jelas, yang namanya R2P adalah mandat atau amanah dari World Summit tahun 2005, dimana harus dibahas dan agendanya sudah ada,” lanjutnya.
Indonesia memberikan kemudahan pada tahun 2017 hingga 2020 hanya karena ada perjanjian satu tahun, tapi ternyata ini berujung pada permintaan agenda tersendiri.
Bagi Indonesia yang penting adalah penguatan implementasi R2P, karena konsepnya ini sangat luas untuk dibahas dan memiliki 3 pilar.
Dengan adanya permintaan jadi agenda tetap, Indonesia merasa kurang sesuai, karena berbagai janji telah disampaikan dan agenda sangat relevan dengan agenda World Summit 2005 dan sudah berulang kali dibahas.
Oleh karena itu, alasan dibuat agenda tersendiri menjadi kurang masuk akal.
“Mereka memang meminta agenda ini, sejak thn 2001 menjadi agenda permanen. Ini adalah posisi yang tidak sesuai dengan posisi pandangan kita. Akhirnya kita vote against, tapi yang perlu diluruskan vote against ini bukan vote pembahaan isu genosidanya, atau pembahasan isu R2P nya, karena memang sudah ada agendanya dan tidak perlu membuat yang baru dan permanen,”.
“Ini mungkin kesalahan pandangan, karena mungkin informasi yang tidak banyak mengenai isu resolusi. Karena resolusinya itu isinya cuma dua. Pertama, meminta membuat agenda. Kedua, meminta Sekjen untuk dapat memberikan laporan. Jadi ini bukan isu substantif, ini adalah isu yang sifatnya prosedural untuk menentukan di agenda mana resolusi ini dibahas. Ini yang ingin saya luruskan,” kata Dirjen Multilateral Kemlu RI.