PROFIL Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas yang Surati Jokowi: Pernah Lolos dari Upaya Pembunuhan Israel
Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas, meminta dukungan dari Indonesia, untuk melawan pendudukan Israel.
Penulis: garudea prabawati
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas, meminta dukungan dari Indonesia, untuk melawan pendudukan Israel.
Bahkan dirinya juga menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada Selasa (18/5/2021).
"Kami meminta Anda (Presiden Jokowi) untuk bertindak segera, dan memobilisasi dukungan internasional, untuk mengambil posisi yang jelas dan tegas, untuk mendukung mengakhiri agresi dan teror yang dilakukan oleh pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza yang terkepung," ujar Haniyeh, dikutip dari Anadolu Agency.
Dia menyerukan diakhirinya semua pelanggaran di Yerusalem yakni skema Yudaiisasi, permukiman, pengusiran paksa dan diskriminasi rasial.
Ia juga menyerukan agar dicabut semua keputusan yang menargetkan wilayah Palestina, terutama lingkungan Sheikh Jarrah.
Baca juga: Jokowi Didorong Segera Telepon Joe Biden Untuk Hentikan Serangan Israel Terhadap Palestina
Haniyeh juga meminta Presiden Jokowi untuk memobilisasi dukungan internasional, mendesak Israel agar 'menjauhkan tangannya' dari Masjid Al-Aqsa.
Juga untuk menghentikan pelanggaran terhadap jamaah atau warga Masjid Al-Aqsa, dan mengizinkan mereka untuk menjalankan ritual dan sholat dengan bebas.
“Semoga Tuhan melestarikan dan mengaruniakan kesuksesan, dan untuk persaudaraan Indonesia lebih maju,” tutupnya.
Lantas siapakah sosok Ismail Haniyeh?
Dikutip dari AlJazeera, Ismail Haniyeh terlahir di kamp pengungsi Shati di Gaza.
Orang tuanya melarikan diri dari kota Asqalan setelah negara Israel didirikan pada tahun 1948.
Haniyeh belajar di Institut al-Azhar di Gaza dan lulus dengan gelar Sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza.
Saat kuliah pada 1983, Haniyeh bergabung dengan Islamic Student Bloc, pendahulu Hamas.
Baca juga: Jokowi Didorong Segera Telepon Joe Biden Untuk Hentikan Serangan Israel Terhadap Palestina
Tahun ia lulus, 1987, menandai dimulainya pemberontakan massal Palestina pertama melawan pendudukan Israel, yang dikenal sebagai Intifada Pertama.
Dan selanjutnya berdirilah Hamas sebagai kelompok resmi di Palestina.
Dipenjara hingga Upaya Pembunuhan
Otoritas Israel pernah memenjarakan Haniyeh selama 18 hari ketika dia ikut serta dalam protes menentang pendudukan.
Setahun kemudian, pada tahun 1988, dia dipenjara lagi selama enam bulan.
Ia menghabiskan tiga tahun di penjara lagi pada tahun 1989 dengan tuduhan bahwa dia adalah anggota Hamas, ketika Intifada dibuka.
Setelah dibebaskan, Israel mendeportasi Haniyeh ke Lebanon Selatan bersama dengan para pemimpin senior Hamas lainnya.
Baca juga: Istana Minta Masyarakat Hentikan Perdebatan Soal Palestina-Israel yang Dapat Timbulkan Perpecahan
Setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina, dia kembali ke Gaza.
Haniyeh naik pangkat dalam gerakan sebagai asisten dekat dan asisten salah satu pendiri Hamas, almarhum Sheikh Ahmed Yassin, pada tahun 1997.
Pada tahun 2001, ketika Intifadah kedua meletus, Haniyeh memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin politik Hamas, peringkat ketiga setelah Yassin dan Abdul Aziz al-Rantisi.
Haniyeh dan Yassin lolos dari kematian pada tahun 2003, dalam upaya pembunuhan Israel yang gagal dalam bentuk serangan udara di sebuah blok apartemen di pusat kota Gaza.
Baca juga: KSP Moeldoko: Indonesia Tak Pernah Berubah, Tetap Kecam Serangan Israel ke Palestina
Beberapa bulan kemudian, Yassin, yang lumpuh, menjadi sasaran dan dibunuh oleh helikopter Israel saat dia meninggalkan masjid setelah shalat subuh.
Haniyeh menjadi terkenal pada tahun 2006 ketika dia memimpin Hamas memenangkan pemilu legislatif atas gerakan Fatah, yang telah berkuasa selama lebih dari satu dekade.
Berita terkait Israel Serang Jalur Gaza
(Tribunnews/Garudea Prabawati)