Penggemar Berduka atas Meninggalnya 2 Pelari Top China saat Lomba Maraton
Penghormatan mengalir untuk dua pelari top China yang meninggal setelah cuaca ekstrem melanda perlombaan lari jarak jauh di provinsi Gansu
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Penghormatan mengalir untuk dua pelari top China yang meninggal setelah cuaca ekstrem melanda perlombaan lari jarak jauh di Provinsi Gansu pada Sabtu (22/5/2021) lalu.
Liang Jing, seorang juara ultramaraton, dan Huang Guanjun, seorang pelari maraton dengan gangguan pendengaran, adalah dua dari 21 orang yang tewas dalam lomba lari maraton 100 km.
"Kita telah kehilangan master olahraga. Ini adalah guncangan bagi lingkaran lari domestik," tulis seorang pengguna Weibo seperti yang dilansir BBC.
Para pelari mendapat masalah setelah perlombaan dilanda suhu beku.
Baca juga: 21 Pelari Tewas dalam Lomba Ultramarathon di China karena Cuaca Ekstrem, Hujan Es dan Angin Kencang
Baca juga: Cuaca Berubah Ekstrem, Sebagian Peserta Ultramarathon Lintas Negara di China Mengalami Hipotermia
Peserta yang selamat mengatakan, prakiraan cuaca memang mengindikasikan ada angin dan hujan, tapi tidak ekstrem seperti yang mereka alami.
Marathon yang diadakan di pegunungan itu dihentikan ketika beberapa dari 172 pelari hilang.
Operasi penyelamatan besar-besaran diluncurkan.
Pemerintah daerah telah banyak dikritik karena kurangnya perencanaan darurat dan para pejabat meminta maaf.
Siapa Liang Jing and Huang Guanjun?
Liang Jing adalah salah satu atlet ultramaraton paling berprestasi di China.
Ia dijuluki "Dewa Liang" dan "Jenderal Liang" karena keahliannya.
Pria berusia 31 tahun itu telah memenangkan banyak lomba jarak jauh di negara itu, termasuk Ultra Gobi pada 2018 - marathon 400 km melalui gurun Gobi.
Menurut foto yang diambilnya menjelang perlombaan hari Sabtu, yang beredar luas di media China, Liang hanya mengenakan celana pendek, jaket tipis, dan topi bisbol.
Pada saat ditemukan oleh tim penyelamat, Liang sudah tidak menunjukkan tanda-tanda vital, kata laporan setempat.
Di media sosial China, penggemar berduka atas kematiannya, menggambarkannya sebagai "kerugian besar" bagi negara.
"Tanpa Jenderal Liang untuk memimpin, siapa yang akan dilihat oleh para ultramaraton lainnya sekarang?", satu orang berkomentar.
Korban lain, Huang Guanjun (34), dikenal karena memenangkan maraton pria tuna rungu di National Paralympic Games 2019 China.
Profil yang dimuat oleh media lokal mengatakan pria asli Sichuan itu tunarungu pada usia satu tahun setelah "kesalahan injeksi".
Ia juga tidak dapat berbicara.
Huang juga tidak unggul dalam studinya.
Ia berjuang untuk mendapatkan pekerjaan tetap.
Huang sering mengalami kesulitan keuangan, bertahan hanya dengan makan mie instan.
Tapi satu hal yang ia kuasai adalah berlari, sehingga ia mengikuti lomba selama bertahun-tahun dengan harapan memenangkan hadiah uang, kata teman-temannya.
Perlombaan hari Sabtu itu menawarkan masing-masing pelari 1.600 yuan jika mereka menyelesaikan lomba tersebut.
Situs berita Cover melaporkan bahwa setelah mengetahui kematian Huang, seorang teman menangis memikirkan bagaimana pelari itu mungkin menderita di saat-saat terakhirnya.
"Dia tuli dan tidak bisa berbicara, dia bahkan tidak bisa meminta bantuan," kata teman yang tidak disebutkan namanya itu.
Apa yang sebenarnya terjadi saat perlombaan?
Lomba marathon dimulai pada Sabtu pukul 09:00 pagi waktu setempat.
Sekitar tiga jam setelah start, bagian pegunungan dari perlombaan dilanda hujan es, hujan lebat dan angin kencang, yang menyebabkan suhu turun drastis, menurut pejabat dari kota Baiyin di dekatnya.
Banyak pelari yang terdampar dilaporkan menderita hipotermia, dan tersesat di rute karena cuaca memengaruhi jarak pandang.
Seorang pelari yang tidak disebutkan namanya, dikutip oleh The Cover, menggambarkan hujan es meluncur ke bawah seperti "peluru yang menghantam wajah".
Ada satu bagian gunung yang sangat curam, katanya, dan daratan yang terbuka membuat dia tidak bisa berlindung.
"Hujan sangat deras, dan angin bertiup sangat kencang sehingga kami hanya bisa menyipitkan mata," katanya.
Ia menambahkan bahwa bahkan jika seseorang membawa selimut termal, selimut itu akan terkoyak oleh angin kencang.
Operasi penyelamatan yang mengerahkan lebih dari 1.200 penyelamat diluncurkan, dibantu oleh drone pencitraan termal dan detektor radar, kata media pemerintah.
Tetapi upaya penyelamatan terbukti terlambat bagi beberapa orang.
Insiden tersebut telah memicu kemarahan publik di China.
Netizen di media sosial meluapkan kemarahan yang terutama ditujukan pada pemerintah Baiyin serta ketidakpuasan atas kurangnya perencanaan darurat.
Dalam konferensi pers pada hari Minggu, Walikota Baiyin Zhang Xuchen berkata:
"Sebagai penyelenggara acara, kami sangat bersalah dan menyesal."
"Kami menyampaikan belasungkawa dan simpati yang dalam kepada keluarga para korban dan yang terluka."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)