Naftali Bennett, Perdana Menteri Baru Israel yang Berhasil Akhiri Jabatan 12 Tahun Netanyahu
SOSOK dan perjalanan politik Naftali Bennett, Perdana Menteri Baru Israel yang akhiri masa jabatan 12 tahun Benjamin Netanyahu
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Naftali Bennett dilantik sebagai perdana menteri baru Israel pada Minggu (13/6/2021).
Ia dikenal sebagai seorang Yahudi religius yang menghasilkan jutaan dolar di sektor hi-tech yang sebagian besar sekuler.
Ia juara gerakan pemukiman yang tinggal di pinggiran kota Tel Aviv, serta mantan sekutu Benjamin Netanyahu yang telah bermitra dengan partai-partai sayap kiri dan tengah untuk mengakhiri kekuasaannya selama 12 tahun.
Partainya yang ultranasionalis Yamina hanya memenangkan tujuh kursi di Knesset yang beranggotakan 120 orang dalam pemilihan Maret, suara keempat dalam dua tahun.
Baca juga: Akhiri 12 Tahun Pemerintahan Benjamin Netanyahu, Naftali Bennett Dilantik Jadi PM Israel
Baca juga: Reaksi Pemimpin Dunia atas Dilantiknya Naftali Bennett Jadi PM Baru Israel, Akhiri Era Netanyahu
Dengan menolak untuk berkomitmen pada Netanyahu atau lawan-lawannya, Bennett memposisikan dirinya sebagai kingmaker.
Bahkan setelah salah satu anggota partai nasionalis keagamaannya meninggalkannya untuk memprotes kesepakatan koalisi baru, ia berakhir dengan kejayaan.
Dilansir Independent, inilah sosok serta perjalanan politik PM Israel Naftali Bennett.
Ultranasionalis dengan Koalisi yang Sekadarnya
Bennett telah lama memposisikan dirinya di sebelah kanan Netanyahu.
Tetapi posisinya kini akan sangat dibatasi oleh koalisinya yang berat, yang hanya memiliki mayoritas sempit di parlemen dan mencakup partai-partai dari kanan, kiri dan tengah.
Bennett menentang kemerdekaan Palestina dan sangat mendukung pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem timur.
Hal itu dilihat oleh Palestina dan sebagian besar masyarakat internasional sebagai hambatan utama bagi perdamaian.
Bennett dengan keras mengkritik Netanyahu yang setuju untuk memperlambat pembangunan pemukiman di bawah tekanan dari Presiden Barack Obama.
Saat itu Obama mencoba menghidupkan kembali proses perdamaian di awal masa jabatan pertamanya, tetapi gagal.