Situasi Pangan Memburuk, Kim Jong Un Mobilisasi Puluhan Ribu Ibu Rumah Tangga Bekerja di Sawah
Kim Jong Un memerintahkan mobilisasi puluhan ribu ibu rumah tangga untuk bekerja di sawah, setelah mengakui Korea Utara kekurangan pangan
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Kim Jong Un memerintahkan ribuan ibu rumah tangga Korea Utara untuk bekerja di sawah di Kabupaten Yonbaek.
Jeong Se-hyun, Wakil Ketua Eksekutif Dewan Penasihat Unifikasi Nasional, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan penyiar Korea Selatan TBS bahwa Kim memerintahkan mobilisasi 14.000 ibu rumah tangga ke Provinsi Hwanghae Utara.
News1 mengutip Jeong yang mengatakan instruksi itu dalam peraturan khusus dari pemimpin Korea Utara.
Jeong tidak mengungkapkan sumbernya, tetapi mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, wanita diizinkan membawa anak-anak mereka.
“Kim telah memerintahkan pembuatan kebijakan pengasuhan anak selama musim tanam,” kata politisi Korea Selatan itu.
Baca juga: Kim Jong Un Serukan Korea Utara Siap Berkonfrontasi dengan Amerika Serikat
Disebutkannya, Kim menyuruh bawahannya untuk membuat ruang kelas penitipan anak sementara ibu mereka pergi ke ladang untuk mencabut rumput liar atau membawa air.
Politisi Korea Selatan mengatakan peraturan tersebut, yang belum diungkapkan di media pemerintah Korea Utara, adalah pertanda bahwa situasi pangan di Korea Utara sedang buruk.
Institut Pengembangan Korea menyatakan Korea Utara bisa jadi akan kekurangan 1,35 juta ton makanan karena bencana alam tahun lalu. Kekhawatiran tumbuhnya topan musiman bisa mengganggu panen yang akan datang.
Jeong mengatakan bahwa krisis pangan Korea Utara harus menjadi titik diskusi dalam negosiasi potensial. Politisi itu mengatakan kepada TBS jika Amerika Serikat atau Korea Selatan tidak bertindak, China bisa mengisi kekosongan.
China telah memainkan peran penting dalam perdagangan dengan Korea Utara selama berbulan-bulan isolasi selama pandemi Covid-19, tetapi Korea Utara juga telah menutup sebagian besar perbatasannya pada tahun 2021.
Baca juga: Krisis Pangan di Korea Utara, Harga Bahan Makan Non-pokok Ikut Meroket, Kopi Sebungkus Rp 1,4 Juta
Beberapa waktu lalu, CNN melaporkan Kim Jong Un yang mengakui negaranya tengah menghadapi kekurangan pangan.
Menurutnya, krisis pangan di Korea Utara disebabkan oleh topan dan banjir tahun lalu.
Kim mengatakan dalam rapat pleno Partai Buruh Korea, bahwa negaranya mengalami "situasi pangan yang genting", Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) melaporkan pada Rabu lalu.
Negara yang tertutup ini semakin memisahkan diri dari dunia luar selama pandemi.
Berbicara pada Selasa, Kim menyebut kondisi dan lingkungan yang dihadapi Korea Utara "menjadi lebih buruk saat memasuki tahun ini."
Padahal, ekonomi Korea Utara secara keseluruhan menunjukkan perbaikan.
Baca juga: Program Nutrition for Zero Hunger, Upaya Wujudkan Ketahanan Pangan
Ia menuturkan, pertemuan partai yang berkuasa harus mengambil langkah terkait masalah tersebut, menurut KCNA.
Walaupun Kim tak membeberkan secara jelas soal kekurangan pangan yang dihadapi Korea Utara, tampaknya situasi tersebut serius.
Pada April, KCNA menyebut Kim mendesak orang-orang untuk mengambil tindakan lainnya terkait "Maret yang sulit", saat berpidato di pertemuan politik tingkat atas.
Istilah "Maret yang sulit" mengacu pada periode kelaparan yang menghancurkan Korea Utara di awal 1900-an.
Kala itu, ekonomi Korea Utara menurun drastis setelah runtuhnya Uni Soviet, yang mengakhiri aliran bantuan ke negara itu.
Baca juga: Kim Jong Un Larang Rakyat Korut Pakai Skinny Jeans, Khawatir Bisa Pengaruhi Rezim
Ratusan ribu orang, sebanyak 10 persen dari populasi negara, diperkirakan mati kelaparan.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan Korea Utara kekurangan sekitar 860 ribu ton makanan, cukup untuk persediaan lebih dari dua bulan.
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Senin pekan lalu, FAO mengatakan Korea Utara secara resmi berencana mengimpor hanya sekitar seperlima dari makanan yang dibutuhkan, untuk menutupi kekurangan dalam negeri.
Dikatakan bahwa sementara Korea Utara meningkatkan penanaman pertanian pada 2020, "sebagian besar hilang akibat banjir dan badai" yang dialami Semenanjung Korea sejak awal Agustus hingga awal September.
FAO telah memperingatkan, jika kesenjangan pasokan tak ditutupi melalui impor atau bantuan, Korea Utara bisa mengalami "masa sulit antara Agustus dan Oktober 2021."
Baca juga: Korut Larang Penggunaan Obat dari China Setelah Ada Pejabatnya yang Meninggal Dunia
Harga Pisang Capai Rp641 Ribu
Media NK News, yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, melaporkan satu kilogram pisang di Pyongyang, ibu kota Utara, mencapai harga Rp641 ribu.
Mengutip Daily Mirror, ini setara dengan tujuh pisang, yang berarti masing-masing berharga Rp91 ribu.
Bulan lalu, Radio Free Asia melaporkan bahwa beberapa petani Korea Utara diminta menyumbangkan dua liter urin mereka setiap hari untuk membantu memproduksi pupuk.
Diketahui, jarang bagi Kim untuk mengakui bahwa sedang terjadi masalah di Korea Utara.
Namun, para ahli tidak percaya kekurangan makanan akan menyebakan kelaparan di seluruh negeri, The Washington Post melaporkan.
Baca juga: Badan Intelijen Korsel: Korut Retas Pfizer, Coba Curi Informasi tentang Vaksin & Perawatan Covid-19
Awal bulan ini, Dewan Keamanan PBB disarankan oleh Tomas Ojea Quintana untuk mempertimbangkan mencabut sanksi terhadap Korea Utara karena kekurangan pangan.
Tomas, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Korea Utara, mengungkapkan pandemi telah menyebabkan negara itu "kesulitan ekonomi yang drastis."
Tak hanya itu, perdagangan Korea Utara dengan China turun 90 persen pada Maret dan April.
Institut Pengembangan Korea, sebuah lembaga wadah pemikir yang dikelola pemerintah yang berbasis di Seoul, memperkirakan Korea Utara akan kekurangan 1,35 juta ton makanan tahun ini.
Korea Utara membutuhkan sekitar 5,75 ton makanan setiap tahun untuk memberi makan negaranya, kata lembaga itu.
Lembaga itu mengatakan, kekurangan tersebut disebabkan topan musim panas dan banjir.
Selain itu, petani di Korea Utara kekurangan peralatan pertanian. Pandemi juga memaksa Korea Utara untuk menutup perbatasan daratnya. (Tribunnews.com/UPI/Hasanah Samhudi)