Peneliti China: Dua Vaksin Covid-19 Buatan China Kurang Efektif Melawan Varian Delta
Peneliti di China mengatakan dua vaksin Covid-19 buatan China kurang efektif melawan virus corona varian Delta, yang kini banyak melanda dunia
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Antibodi yang dipicu oleh dua vaksin Covid-19 dari China kurang efektif terhadap varian Delta dibandingkan dengan strain lain. Namun kedua vaksin ini tetap bisa digunakan sebagai upaya perlindungan.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh China Central Television pada hari Kamis (24/6), Dr Feng Zijian, mantan wakil direktur di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengungkapkan hal itu. Namun ia tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Peneliti China itu tidak menyebutkan nama kedua vaksin China tersebut. Tetapi ia mengatakan bahwa kedua vaksin China itu termasuk dalam kategori vaksin yang tidak aktif, yang mengandung virus corona "mati" yang tidak dapat bereplikasi dalam sel manusia.
Lima dari tujuh vaksin yang dikembangkan di dalam negeri dalam skema inokulasi massal China adalah vaksin yang tidak aktif.
Ini termasuk obat-obatan dari Sinovac Biotech dan Sinopharm yang digunakan di negara-negara seperti Brasil, Bahrain dan Chili.
Baca juga: Lebih Cepat Menular, 90 Persen Kasus Covid-19 di Uni Eropa Akibat Varian Delta Pada Agustus Nanti
Baca juga: Khawatir Picu Gelombang Ketiga Covid-19, India Beri Perhatian Serius Varian Delta Plus
Sejumlah pejabat mengatakan, varian Delta telah menyebabkan infeksi di tiga kota di selatan Guangdong, di mana 170 pasien yang dikonfirmasi secara lokal dilaporkan antara 21 Mei dan 21 Juni.
Masih belum jelas berapa banyak dari mereka yang terinfeksi oleh varian Delta.
Sekitar 85 persen dari kasus Guangdong dalam wabah terbaru ditemukan di ibukota provinsi Guangzhou.
"Dalam wabah Guangdong tidak satu pun dari mereka (yang) divaksinasi menjadi kasus yang parah," kata Dr Feng.
Dominan Secara Global
Virus Corona varian Delta sangat menular sehingga diperkirakan 90 persen kasus Covid-19 baru di Uni Eropa akan diakibatkan varian ini pada Agustus mendatang.
Baca juga: Kenali Gejala Umum Virus Corona, Beserta Gejala Covid-19 Varian Delta
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) pada Rabu (23/6) mengatakan, varian Delta (B.1.617.2) ini 40 hingga 60 persen lebih menular daripada varian Alpha (B.1.1.7).
Varian Alpha adalah virus yang pertama kali ditemukan di Inggris dan menjadi varian utama di Uni Eropa.
Karena penularannya yang meningkat, Delta menjadi perhatian bagi banyak pemerintah di seluruh Eropa. Apalagi sebagian besar negara berencana melonggarkan pembatasan setelah penurunan keseluruhan kasus Covid-19 baru.
"Sangat mungkin bahwa varian Delta akan beredar luas selama musim panas, terutama di antara individu yang lebih muda yang tidak ditargetkan untuk vaksinasi," kata ECDC.
“Ini dapat menyebabkan risiko bagi individu yang lebih rentan untuk terinfeksi dan mengalami penyakit parah dan kematian jika mereka tidak sepenuhnya divaksinasi,” katanya.
Baca juga: StudiTerbaru: Kasus Covid-19 Pertama Melanda China pada Oktober 2019, Bukan November 2019
Lembaga ini Juga mengatakan melanjutkan dan meningkatkan vaksinasi dengan cepat untuk menghentikan penyebaran varian dan mengurangi dampak kesehatannya.
Sampai saat ini, katanya, sekitar 30 persen dari mereka yang berusia 80 tahun ke atas dan 40 persen di atas 60-an di UE masih belum sepenuhnya divaksinasi.
Dengan sebagian besar anggota UE belum sepenuhnya menginokulasi sepertiga dari populasi mereka, ECDC juga mendesak negara-negara untuk berhati-hati dalam mengurangi pembatasan yang bertujuan membatasi penyebaran virus.
Peringatan oleh ECDC ini sejalan dengan peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu, yang mengatakan varian Delta yang pertama kali diidentifikasi di India menjadi dominan secara global.
Kepala Ilmuwan WHO mengatakan, Varian Delta dari virus corona menjadi jenis yang dominan secara global karena "penularannya meningkat secara signifikan.
Baca juga: Studi Hasil Otopsi di AS: Otak Pasien Covid-19 yang Parah Mirip Otak Pasien Alzheimer dan Parkinson
Komentar Dr Soumya Swaminathan muncul ketika para pejabat di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Rusia mendesak lebih banyak orang untuk divaksinasi, memperingatkan bahwa jenis yang lebih menular dapat menyebabkan lebih banyak kematian.
Laporan epidemiologi minggu WHO menyebutkan, delapan puluh negara sejauh ini telah melaporkan kasus varian Delta.
Studi menunjukkan bahwa Delta, yang pertama kali diidentifikasi di India, sekitar 60 persen lebih mudah menular daripada Alpha, varian yang pertama kali diidentifikasi di Inggris yang lebih menular daripada jenis yang muncul dari kota Wuhan di China pada akhir 2019.
“Varian Delta akan menjadi varian dominan secara global karena transmisibilitasnya meningkat secara signifikan,” kata Dr Swaminathan, Jumat (18/6). Situasi global begitu dinamis karena varian yang beredar, tambahnya.
WHO sangat prihatin dengan Afrika. Meskipun benua itu hanya menyumbang sekitar 5 persen dari infeksi baru dan 2 persen kematian, kasus baru di Namibia, Sierra Leone, Liberia dan Rwanda telah berlipat ganda dalam seminggu terakhir.
Baca juga: Studi: Infeksi Covid-19 Kurangi Risiko Infeksi Lanjutan Selama 10 Bulan
“Ini peningkatan yang sangat, sangat memprihatinkan”, sementara akses vaksin tetap sangat kecil,”kata kepala program kedaruratan WHO Mike Ryan.
Di AS, Presiden Joe Biden mencatat bahwa daerah di mana tingkat vaksinasi menurun menunjukkan lebih banyak infeksi, dan memperingatkan bahwa mereka yang menolak untuk divaksinasi berisiko terinfeksi oleh varian yang sangat menular.
Varian Delta menyumbang 6 persen kasus secara nasional, tetapi 18 persen kasus di Colorado, Montana, North Dakota, South Dakota, Utah, dan Wyoming.
Inggris juga telah melaporkan peningkatan tajam dalam infeksi dengan varian Delta, yang menyumbang lebih dari 90 persen kasus baru terutama di kalangan anak muda - mendorong pemerintah untuk menunda rencana untuk mencabut pembatasan kontak sosial hingga 19 Juli.
Di Jerman, varian Delta menyumbang sedikit di atas 6 persen dari kasus baru, tetapi angkanya telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir. (Tribunnews.com/TST/Hasanah Samhudi)