Diduga Terlibat Epidemi Opioid, Johnson & Johnson dan 3 Distributor Setuju Bayar Tuntutan 26 Miliar
Johnson & Johnson dan tiga distributor obat terbesar lainnya di negara itu telah setuju untuk membayar tuntutan gabungan sebesar 26 miliar dolar AS.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Raksasa farmasi Amerika Serikat (AS) Johnson & Johnson dan tiga distributor obat terbesar lainnya di negara itu telah setuju untuk membayar tuntutan gabungan sebesar 26 miliar dolar AS.
Ini dilakukan untuk mengakhiri tanggung jawab hukum mereka atas dugaan berperan dalam memicu krisis opioid di negara itu.
Dikutip dari laman Russia Today, Kamis (22/7/2021), Jaksa Agung dari tujuh negara bagian di AS mengumumkan kesepakatan pada hari Rabu kemarin.
Baca juga: Malaysia Izinkan Penggunaan Darurat Vaksin Sinopharm dan Johnson & Johnson
Baca juga: Oposisi Ganti Varian Delta Menjadi Varian Johnson, Sindiran Permintaan Maaf untuk Rakyat Inggris
Disebutkan bahwa Johnson & Johnson akan membayar 5 miliar dolar AS, sedangkan distributor McKesson, Cardinal Health serta AmerisourceBergen akan membayar gabungan sekitar 21 miliar dolar AS.
Uang tersebut akan dibayarkan secara berkala selama 9 tahun untuk Johnson & Johnson dan 18 tahun untuk distributor, serta akan diberikan ke negara bagian yang setuju untuk menerima penyelesaian dan tidak melanjutkan tuntutan hukum mereka terhadap perusahaan.
Jaksa Agung Massachusetts Maura Healey mengatakan bahwa perjanjian itu memenuhi janjinya membuat perusahaan yang 'kaya dari epidemi opioid untuk membayar semua harganya'.
Uang itu akan membantu mendanai program untuk mencegah dan mengobati kecanduan opioid bagi warga Massachusetts.
Negara bagian itu nantinya akan menerima lebih dari 500 juta dolar AS.
Sebelumnya, Johnson & Johnson harus menghadapi ribuan tuntutan hukum terkait krisis tersebut.
Karena menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, perusahaan itu telah menyebabkan hampir 500.000 orang tewas sejak 1999 hingga 2019.
Johnson & Johnson dituduh mendorong penggunaan berlebihan obat penghilang rasa sakit dan meremehkan risiko kecanduan pada pasien.
Sementara distributornya diduga gagal menghentikan obat ini mengalir ke saluran ilegal.
Sebelumnya, Johnson & Johnson pada bulan lalu telah menyetujui penyelesaian 230 juta dolar AS dengan negara bagian New York.