Dokter di Kanada Bayar Gugatan Rp 143 Miliar Karena Pakai Spermanya Dalam Inseminasi Buatan
Dokter kesuburan di Kanada menyetujui membayar gugatan class action sekitar Rp 143 miliar karena menggunakan spermanya dalam inseminasi buatan pasien
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Seorang dokter kesuburan di Kanada, Norman Barwin, akhirnya setuju membayar 10 juta dolar AS (sekitar Rp 143 miliar) karena menggunakan bukan sperma suami pasien, bahkan ada belasan kasus menggunakan sperma dokter itu sendiri.
Sebuah firma hukum yang mewakili setidaknya satu keluarga korban, Nelligan Law, mengatakan penyelesaian atas gugatan class action itu diumumkan pada sidang virtual Rabu (28/7/2021).
Penyelesaian besar itu diumumkan Rabu pada sidang virtual, kata sebuah firma hukum yang mewakili setidaknya satu keluarga. Keputusan tersebut, sebut Nelligan Law, adalah suatu itu "terobosan."
Siaran pers firma hukum yang dikutip NBCNews menyebutkan,atas permintaan bantuan para keluarga, tujuh belas orang menemukan bahwa Dr Norman Barwin adalah ayah biologis mereka berdasarkan tes DNA.
Juga dikatakan, lebih dari 80 lainnya tidak tahu identitas ayah biologis mereka. Namun mereka mengetahui bahwa Barwin tidak menggunakan sperma yang seharusnya dia gunakan dalam pembuahan mereka.
Baca juga: Catat! Ini 5 Tips Menjaga Kesehatan agar Inseminasi Buatan Berhasil
"Penyelesaian gugatan class action memberikan kompensasi kepada pasien dan anak-anak mereka di mana DNA anak-anak tidak seperti yang dimaksudkan oleh orang tua pada saat inseminasi buatan yang dilakukan oleh Barwin," kata firma hukum itu dalam sebuah pernyataan.
"Ini juga memberikan kompensasi kepada mantan pasien yang telah mempercayakan semen mereka kepada Barwin, baik untuk disimpan atau untuk tujuan tertentu, tetapi digunakan oleh Barwin dalam inseminasi pasien lain, sehingga menghasilkan keturunan,” sebut firm aitu.
Seorang pengacara Barwin menolak berkomentar ketika dihubungi oleh NBC News pada hari Jumat (31/7/2021).
Barwin telah membantah tuduhan terhadapnya dan tidak mengakui kesalahan dalam penyelesaian tersebut.
Ia mengatakan menyetujui penyelesaian karena dia ingin menghindari menghabiskan lebih banyak waktu dan uang untuk memerangi kasus tersebut.
Baca juga: Penggugat Class Action Asbes Konstruksi Jepang Kemungkinan Dapat 13 Juta Yen Per Orang
Satu keluarga, Davina dan Daniel Dixon, menggugat Barwin pada 2016 setelah mereka menemukan bahwa Daniel bukan ayah biologis putri mereka berdasarkan tes DNA.
Menurut dokumen pengadilan, pasangan itu mendatangi Barwin pada tahun 1989 karena mereka membutuhkan bantuan untuk mendapatkan keturunan.
Setelah beberapa pertemuan dengan Barwin, Davina hamil dan melahirkan seorang putri bernama Rebecca pada tahun 1990.
Dokumen itu menyebutkan, selama beberapa dekade, keluarga tersebut percaya bahwa Daniel adalah ayah biologis Rebecca. Baru pada tahun 2016 keluarga mengetahui kebenaran.
Dokumen tersebut menyatakan, Davina sedang browsing di Facebook dan melihat sebuah posting yang mengatakan seorang anak bermata coklat sulit terjadi bila berasal dari orangtua (ayah ibu) bermata biru.
Baca juga: Kanada Tak Akan Berbagi Vaksin COVAX Hingga Semua Warganya Divaksinasi
Dokumen juga menyebutkan, Davina menjadi khawati" dan menghubungi dokter keluarga mereka untuk meminta tes DNA. Hasil penelitian menunjukkan ada kemungkinan nol persen bahwa Daniel adalah ayah biologis Rebecca.
Juga disebutkan, keluarga mulai melakukan penelitian dan menemukan laporan media tentang Barwin. Mereka juga mulai memperhatikan kemiripan fisik yang luar biasa antara Rebecca dan dokter.
Rebecca berhubungan dengan wanita lain di Facebook, Kat Palmer, yang telah mengetahui bahwa Barwin adalah ayah kandungnya.
Dokumen tersebut menyatakan bahwa orang tua Palmer menemui Barwin dan meminta penggunaan donor sperma anonim.
"Mereka secara khusus memilih donor sperma anonim dengan sifat dan karakteristik tertentu yang penting bagi mereka," kata dokumen tersebut.
Baca juga: China Kenakan Tarif Tinggi Beberapa Produk Baja Tahan Karat, Jepang Ajukan Gugatan ke WTO
Sebaliknya, Barwin menginseminasi Janet Palmer dengan spermanya, sebut dokumen itu.
Tuduhan terhadap Barwin dimulai pada tahun 1970, saat Barwin bekerja di Rumah Sakit Umum Ottawa dan klinik Ottawa.
Dalam kasus lain, seorang ibu mengatakan dia diberi informasi yang salah tentang donor spermanya dan tidak bisa mendapatkan informasi apapun tentang riwayat kesehatan putranya, yang memiliki ketidakmampuan belajar.
Wanita lain mengatakan dia yakin Barwin menggunakan sperma suaminya tetapi kemudian menemukan bahwa suaminya bukan ayah biologis dari anak-anak mereka.
Pada 2019, Barwin dinyatakan tidak kompeten oleh College of Physicians and Surgeons of Ontario.
Dia mengundurkan diri dari perguruan tinggi pada tahun 2014, tetapi kemudian dicabut kembali dan ia diperintahkan untuk membayar denda. Barwin tidak pernah lagi berpraktek sejak 2014.
Baca juga: Putusan Pengadilan Tolak Permohonan PKPU Terhadap Pertamina Foundation
Pengadilan masih perlu menyetujui penyelesaian gugatan ini, yang totalnya mencapai 10,7 juta dolar AS, dan akan meninjaunya dalam sidang November. (Tribun Network/NBCNews/Hasanah Samhudi)