Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Inikah Penyebab Milisi Taliban Begitu Cepat Merebut Kota-kota Besar di Afghanistan?

Sejauh ini Taliban mengeklaim telah merebut kota terbesar kedua di Afghanistan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Inikah Penyebab Milisi Taliban Begitu Cepat Merebut Kota-kota Besar di Afghanistan?
AFP
Seorang pejuang Taliban memegang granat berpeluncur roket (RPG) di Herat, kota terbesar ketiga di Afghanistan Jumat (13/8/2021), setelah pasukan pemerintah ditarik keluar sehari sebelumnya setelah berminggu-minggu dikepung. 

TRIBUNNEWS.COM, AFGHANISTAN  - Kecepatan laju milisi Taliban di Afghanistan tampaknya mengejutkan banyak orang.

Beberapa ibu kota provinsi di Afghanistan agaknya bakal segera jatuh ke tangan Taliban.

Pekan ini, sebuah laporan intelijen AS yang bocor memperkirakan bahwa Kabul bisa diserang dalam beberapa pekan dan pemerintahan Afghanistan bisa runtuh dalam 90 hari.

Sejauh ini Taliban mengeklaim telah merebut kota terbesar kedua di Afghanistan, Kandahar, yang dapat disebut sebagai kemenangan besar bagi mereka.

Kota ini pernah menjadi benteng Taliban, dan secara strategis penting sebagai pusat perdagangan yang terkemuka.

Beberapa kota lainnya juga jatuh pada Kamis (12/08) dalam serangkaian kemenangan paling dramatis.

Baca juga: Taliban Taklukkan 15 dari 34 Ibu Kota Provinsi di Afghanistan dalam Satu Minggu

Jadi, bagaimana semua ini bisa berlangsung begitu cepat?

Berita Rekomendasi

AS dan negara-negara sekutu NATO - termasuk Inggris - telah menghabiskan sebagian besar dalam 20 tahun terakhir untuk program pelatihan dan memperlengkapi pasukan keamanan Afghanistan.

Tak terhitung para jenderal Amerika dan Inggris mengeklaim telah membentuk tentara Afghanistan yang lebih kuat dan cakap.

Janji-janji itu terlihat seperti omong kosong pada hari-hari ini.

Kekuatan Taliban

Pemerintah Afghanistan seharusnya, secara teori, masih berada di atas angin dengan kekuatan lebih besar yang dimilikinya.

Pasukan keamanan Afghanistan berjumlah lebih dari 300.000 orang, setidaknya di atas kertas. Jumlah itu termasuk angkatan darat, udara, serta kepolisian Afghanistan.

Namun kenyataannya negara ini selalu kepayahan dalam memenuhi target perekrutan anggota keamanan.

Tentara dan polisi Afghanistan punya riwayat buruk perihal kematian yang tinggi, desersi, serta korupsi - sejumlah komandan tak bermoral meminta anggaran yang diklaim untuk pasukannya, namun sebenarnya prajurit-prajurit itu tidak pernah ada - yang disebut "tentara hantu".

Dalam laporan terbarunya kepada Kongres AS, Inspektur Jenderal Khusus untuk Afghanistan (SIGAR) menyatakan "keprihatinan serius tentang efek korupsi yang merusak... dan pertanyaan keakuratan data mengenai kekuatan pasukan yang sebenarnya".

Jack Watling, dari Royal United Services Institute, mengatakan bahkan Angkatan Darat Afghanistan tidak pernah yakin berapa banyak pasukan yang sebenarnya mereka miliki.

Selain itu, dia mengatakan, ada persoalan dengan perawatan alat pertahanan dan moral.

Pasukan sering kali dikirim ke wilayah di mana mereka tidak memiliki hubungan suku atau keluarga. Inilah salah satu alasan mengapa beberapa orang kemungkinan begitu cepat meninggalkan posnya tanpa melakukan perlawanan.

Kekuatan Taliban bahkan lebih sulit untuk diukur.

Menurut Pusat Pemberantasan Terorisme AS di West Point, ada perkiraan yang memperlihatkan bahwa kekuatan inti kelompok Taliban berjumlah 60.000 jiwa.

Dengan tambahan kelompok milisi dan pendukung lainnya, jumlah mereka bisa melebihi 200.000 orang.

Tetapi Dr Mike Martin, mantan perwira tentara Inggris yang menguasai bahasa Pashto dan telah menelusuri sejarah konflik di Helmand dalam bukunya An Intimate War, memperingatkan terlalu berbahaya mendefinisikan Taliban sebagai satu kelompok monolitik.

Sebaliknya, dia mengatakan "Taliban lebih mendekati sebuah koalisi longgar dari para pemegang waralaba independen - dan kemungkinan besar bersifat sementara - berafiliasi satu sama lain".

Dia mencatat bahwa pemerintah Afghanistan juga terbelah oleh berbagai kepentingan faksi-faksi di tingkat lokal.

Sejarah perubahan di Afghanistan menggambarkan betapa keluarga, suku, dan bahkan pejabat pemerintah mengalihkan dukungannya - acapkali untuk memastikan kelangsungan hidup mereka sendiri.

Akses ke persenjataan

Sekali lagi, pemerintah Afghanistan sejatinya memiliki keuntungan baik dari segi pendanaan maupun persenjataan.

Mereka telah menerima miliaran dolar guna membayar gaji dan peralatan pertahanan - sebagian besar diberikan AS.

Dalam laporan Juli 2021, SIGAR mengatakan lebih dari US$88 miliar telah dihabiskan demi keamanan Afghanistan.

Tapi data itu menambahkan: "Pertanyaannya, apakah uang itu dihabiskan dengan baik, yang pada akhirnya, akan dijawab oleh apa yang dihasilkan dari pertempuran di lapangan."

Angkatan Udara Afghanistan harus membuktikan keunggulannya dalam situasi kritis di medan pertempuran.

Tetapi mereka harus berjuang demi mempertahankan dan mengawaki 211 pesawatnya (di mana persoalannya makin parah, karena Taliban sengaja menargetkan para pilot).

Mereka juga tidak mampu memenuhi tuntutan dari komandan di lapangan.

Karena itulah, ada keterlibatan Angkatan Udara AS baru-baru ini di kota-kota seperti Lashkar Gah, yang sudah dikuasai oleh Taliban.

Masih belum jelas berapa lama lagi AS bersedia memberikan dukungan seperti itu.

Taliban seringkali mengandalkan pasokan dananya dari perdagangan narkoba, tetapi mereka juga mendapat dukungan dari luar - terutama Pakistan.

Tidak lama berselang Taliban menyita senjata dan peralatan dari pasukan keamanan Afghanistan - beberapa di antaranya dipasok AS - termasuk kendaraan Humvee, piranti teropong malam, senapan mesin, mortir dan peralatan artileri.

Afghanistan dibanjiri pasokan senjata setelah invasi Soviet, dan Taliban sudah menunjukkan dapat mengalahkan kekuatan yang jauh lebih canggih.

Pikirkan efek mematikan dari Improvised Explosive Device (IED) - bom rakitan - dengan target pasukan AS dan Inggris.

Faktor ini serta pengetahuan lokal dan pemahaman tentang medan perang telah menjadi keuntungan Taliban.

Fokus ke wilayah utara dan barat

Terlepas dari karakter kelompok Taliban yang berbeda, ada beberapa hal yang membuktikan bahwa mereka memiliki rencana terkoordinasi terkait kemajuan mereka belakangan ini.

Ben Barry, mantan pimpinan tentara Inggris dan saat ini menjadi penasihat senior di Institute of Strategic Studies, mengakui keuntungan Taliban mungkin bersifat oportunistik, tetapi menambahkan: "Jika Anda menulis rencana operasi, saya akan kesulitan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik dari ini."

Dia menunjuk fokus serangan Taliban di wilayah utara dan barat, padahal wilayah itu bukan kantung kekuatan tradisional mereka di selatan, di mana beberapa ibu kota regional berturut-turut jatuh ke tangan mereka.

Taliban juga telah merebut kawasan penyeberangan perbatasan dan pos-pos pemeriksaan utama, yang memasok pendapatan bea cukai yang sangat dibutuhkan dari pemerintah Afghanistan yang minus anggaran.

Mereka juga meningkatkan target aksi pembunuhan terhadap para pejabat penting, aktivis hak asasi manusia, dan para jurnalis.

Perlahan tapi pasti mereka memusnahkan beberapa keuntungan kecil yang dibuat selama 20 tahun terakhir.

Adapun tentang strategi pemerintah Afghanistan dalam menghadapi Taliban, terbukti lebih sulit untuk didefinisikan.

Janji mereka untuk merebut kembali semua wilayah yang direbut Taliban terdengar kosong belaka.

Barry mengatakan agaknya ada rencana untuk mempertahankan kota-kota besar. Pasukan komando Afghanistan telah dikerahkan untuk mencegah kota Lashkar Gah di Helmand jatuh ke Taliban.

Tetapi untuk berapa lama lagi?

Pasukan khusus Afghanistan jumlahnya relatif kecil, yaitu sekitar 10.000 personel, dan mereka tidak mampu melakukan perlawanan.

Taliban juga tampaknya memenangkan perang propaganda dan pertempuran narasi.

Barry mengatakan momentum mereka di medan perang telah meningkatkan moral dan menguatkan rasa persatuan.

Sebaliknya, pemerintah Afghanistan berada dalam kondisi tertekan, saling adu sikut, dan memecat para jenderalnya.

Seperti apa akhir perseteruan ini?

Situasi seperti itu tentu saja terlihat suram bagi pemerintah Afghanistan.

Tapi Jack Watling dari RUSI mengatakan, ketika untuk sementara militer Afghanistan terlihat semakin pesimistis, "situasinya masih bisa diselamatkan oleh politik".

Jika pemerintah bisa merangkul para pemimpin suku, katanya, masih ada kemungkinan di tengah kebuntuan.

Ini adalah pandangan yang digaungkan Mike Martin, dengan menunjuk kasus kembalinya mantan panglima perang Abdul Rashid Dostum ke kota Mazar-i-Sharif sebagai momen penting. Dia telah memotong kesepakatan.

Pertempuran di musim panas akan segera berakhir saat musim dingin mulai menggantikannya, yang membuat manuver lebih sulit bagi pasukan di lapangan.

Masih ada kemungkinan semuanya akan menemui jalan buntu pada akhir tahun, dan pemerintah Afghanistan akan berpegang teguh untuk mempertahankan Kabul dan beberapa kota besar lainnya.

Gelombang bahkan bisa berubah apabila kelompok dilanda keretakan.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas