Di Tengah Konflik Perang, Suriah Utara Dilanda Kelangkaan Air
Sungai Efrat telah menyusut ke tingkat "sangat rendah" tahun ini, menurut sebuah laporan oleh Program Pangan Dunia.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Selama 71 dari 81 tahun hidupnya, Abu Mohammad Sheikh Hussein telah bertani di timur laut Suriah.
Dua tahun terakhir, dia melihat tingkat air terendah sepanjang ingatannya.
"Dulu, siapa pun yang tinggal jauh dari sungai bisa menggali air tanah. Tapi sekarang tidak peduli seberapa dalam mereka menggali, mereka tidak dapat menemukan sumber air," katanya kepada Al Jazeera.
Setelah kehilangan akses ke sumber air tanah, Sheikh Hussein menjelaskan bahwa dia dan orang lain di daerah itu sekarang hanya bergantung pada sungai Efrat, yang berada di dekat rumahnya.
Namun, sungai itu juga telah menyusut ke tingkat "sangat rendah" tahun ini, menurut sebuah laporan oleh Program Pangan Dunia.
Baca juga: Serangan Udara Hancurkan Gudang Senjata Milisi Iran di Suriah
Baca juga: Organisasi Terlarang JI Sengaja Kirim Kader ke Afghanistan-Suriah untuk Latihan Tempur
Lebih dari lima juta orang bergantung pada sungai terpanjang Suriah tersebut untuk sumber air dan mata pencaharian mereka, dengan listrik yang dihasilkan oleh bendungan pembangkit listrik tenaga air di sungai memasok bagi sekitar tiga juta orang.
Kombinasi dari kenaikan suhu dan penurunan tingkat curah hujan telah menyebabkan berkurangnya tingkat air di Efrat.
Faktor lain yang dianggap secara lokal mempengaruhi ketinggian air adalah banyaknya proyek bendungan di hulu di Turki, bagian dari proyek pembangunan selama beberapa dekade untuk membangun 22 bendungan dan 19 pembangkit listrik tenaga air di sungai Tigris dan Efrat.
Baca juga: Dua Tentara Suriah Terluka dalam Serangan Udara Israel
Baca juga: Serangan Rudal Israel Hantam Suriah, Dua Tentara Terluka
Konsekuensi mengerikan untuk masa depan
Insinyur Jamal Diban, kepala direktorat jenderal air minum di Idlib, mengatakan air dipompa dari sumur bawah tanah dan dari mata air di daerah tersebut dan tersedia “di sebagian besar kota di wilayah tersebut”.
Namun, dia menambahkan ini menguras pasokan air dan “membutuhkan biaya tinggi untuk mengekstraksi”.
Diban menambahkan stasiun pompa membutuhkan rehabilitasi, dan Badan Umum untuk Air Minum “menyerukan kepada organisasi kemanusiaan untuk membantu merehabilitasi stasiun-stasiun ini”.
Dengan serangan udara yang masih berlangsung di beberapa bagian barat laut Suriah, konflik telah dan terus mempengaruhi infrastruktur.
“Pemboman … terus terjadi sesekali,” kata al-Ali.
Baca juga: Tiga Anggota Teroris JI di Lampung Diduga Galang Dana untuk Kirim Kader ke Suriah-Afghanistan
Baca juga: POPULER Internasional: Kekhawatiran Junta Myanmar Persiapkan Genosida | Serangan Drone AS di Suriah
Menurut Khaldoon A Mourad, seorang peneliti senior dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dari Suriah, sekarang tinggal di Swedia, “konflik telah merusak sebagian besar infrastruktur di beberapa kota Suriah, dan itu [telah] mempengaruhi kualitas dan kuantitas air”.
Mourad menambahkan kurangnya dana dan situasi keamanan yang tidak stabil menghambat upaya rehabilitasi.
Sementara beberapa kesepakatan memang ada mengenai masalah air lintas batas, Mourad menekankan bahwa para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan di wilayah tersebut harus “bekerja sama untuk menemukan solusi regional yang mungkin terkait kelangkaan air”.
Berita lain terkait Suriah
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)