Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Natuna Utara Diklaim Masuk Wilayah China, Indonesia Diminta Hentikan Pengeboran Migas

Pemerintah China menuntut Indonesia Untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah perairan Kepulauan Natuna.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Natuna Utara Diklaim Masuk Wilayah China, Indonesia Diminta Hentikan Pengeboran Migas
Dinas Penerangan Angkatan Laut
Kapal perang milik TNI Angkatan Laut, yang sedang melakukan latihan menembakkan rudal jenis C-705 di perairan Natuna, Kamis (8/4/2021). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah China menuntut Indonesia Untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah perairan Kepulauan Natuna.

Wilayah maritim tersebut memang diklaim kedua negara.

Dilansir dari Kontan, Kamis (2/11/2021), permintaan yang belum pernah terjadi dan belum pernah dilaporkan sebelumnya itu, meningkatkan ketegangan antara China dan Indonesia di wilayah strategis tatkala ekonomi global juga sedang bergejolak.

Sebuah surat dari Diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan jelas mengatakan kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara karena lokasinya berada di wilayah China.

Baca juga: Begini Respon Kemlu RI Soal Protes China Terkait Pengeboran Minyak dan Latihan Militer di Natuna

Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017.

China keberatan dengan perubahan nama dan bersikeras bahwa jalur air itu berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus berbentuk U alias dash nine line.

Berita Rekomendasi

Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Unclos), Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di ZEE dan landas kontinennya.

Unclos Pasal 73 juga memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menegakkan hukum dan peraturan nasionalnya terhadap kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mencoba terus meningkatkan keberadaan kapal nelayan penangkap ikan lokal di Natuna Utara.

Namun, sebagian besar nelayan lokal di Natuna sebagian besar adalah operator skala kecil, sehingga berlayar hingga 200 mil laut di zona ekonomi eksklusif tetap menjadi tantangan.

Pemerintah juga punya rencana untuk mengirim kapal penangkap ikan yang lebih besar dari Jawa untuk menangkap ikan di Laut Natuna Utara.

Namun, tampaknya rencana itu menimbulkan gesekan dengan nelayan lokal di Natuna.

China protes RI eksplorasi migas di Natuna

Sementara itu dilansir dari media terkemuka Malaysia, The Star, China menuntut Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran minyak dalam nota diplomatik dengan alasan bahwa itu terjadi di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari perairan tradisional milik mereka.

Nota protes China dikirim beberapa bulan lalu saat kapal penelitiannya melintasi bagian Laut China Selatan yang menurut Indonesia adalah bagian dari zona ekonomi eksklusifnya di lepas pantai Kepulauan Natuna.

"Argumen (China) mereka adalah bahwa lokasi pengeboran melanggar batas Nine-Dash Line," kata anggota DPR Muhammad Farhan, merujuk pada jalur yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar Laut China Selatan.

"Tentu saja pemerintah Indonesia menolak (klaim) itu karena kami berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut," katanya.

Indonesia tidak melihat dirinya sebagai pihak dalam bersengketa di Laut China Selatan, karena menganggap memiliki klaim hak maritim di perairan lepas Kepulauan Natuna.

Kapal Indonesia dan China beberapa kali mengalami gesekan di perairan di bagian selatan Laut China Selatan.

Pada tahun 2017, Indonesia mengganti nama wilayah Laut Natuna Utara, memicu protes dari China, yang menyatakan bahwa itu adalah daerah penangkapan ikan tradisionalnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah saat dikonfirmasi kebenaran protes tersebut mengatakan bahwa protes tertulis itu bersifat tertutup.

Sehingga ia tidak mengkonfirmasi lebih jauh soal protes tersebut.

“Saya tidak bisa mengkonfirmasi berita yang beredar tersebut. Komunikasi diplomatik, terlebih lagi yang tertulis bersifat tertutup dan sesuai ketentuan baru bisa dibuka ke publik setelah periode yang lama. Jadi saya tidak bisa konfirmasi berita tersebut dan juga yang menjadi rujukan komunikasi yang dimaksud,” ujarnya saat dihubungi hari Kamis (2/12/2021).

China semakin menunjukkan sikap asertif

Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik itu kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna.

Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.

Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.

"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri. Baginya jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.

Dan, meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang.

Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan China memiliki kemitraan strategis.

"Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya."

"Indonesia pun sadar mengakui China merupakan great power yang sedang raising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."

Apa yang harus dilakukan Indonesia di Natuna?

Bagaimanapun ancaman serius di Laut Natuna Utara tak bisa diabaikan.

Menurut analisi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021, Indonesia menghadapi dua persoalan. Pertama adalah kehadiran kapal penangkap iklan ilegal dan juga adanya kapal survei milik China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

IOJI mengungkapkan, kapal survei milik China di Laut Natuna Utara terdeteksi pada Agustus lalu. Kapal bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao tersebut diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di wilayah ZEE dengan dikawal kapal coast guard.

Kapal itu beraktivitas sejak 31 Agustus hingga 16 September 2021.

Berdasarkan lintasan kapal survei itu, kapal membentuk pola lintasan cetakan sawah dengan rapi di Laut Natuna Utara. Padahal aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia hanya boleh dilakukan atas persetujuan pemerintah.

Itu mengapa kata Arie dan Aisha, pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga di Laut Natuna denganmengerahkan kekuatan keamanan laut.

"Kita harus menjaga kepentingan di lapangan saat pengeboran. Menjaga kru kita di sana."

"Bahwa kapal patroli China dipersenjatai dan nelayannya juga, ini harus dilihat adanya upaya tertentu dari pemerintah Indonesia untuk bisa menghalau patroli laut China di lepas pantai."

"Perlu ada penegakan hukum yang kuat."

Sementara Muhammad Farhan mendesak pemerintah agar memanfaatkan sebesar-besarnya Laut Natuna untuk kepentingan rakyat.

"Pekerjaan rumah itu yang belum terjawab tuntas. Bahwa ada upaya drilling secara serius, tapi jumlahnya harus banyak. Eksplorasi di perikanan juga penting," katanya.

Sumber: Kontan.co.id/BBC Indonesia/Kompas.com

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas