Inggris dan Kanada Boikot Diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Mengikuti Langkah AS
Mengukuti langkah AS, kini Inggris dan Kanada mengumumkan boikot diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Inggris dan Kanada menjadi negara terbaru yang mengumumkan boikot diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Olimpiade tersebut rencananya akan digelar pada Februari 2022 mendatang.
Melansir BBC, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mengatakan, tidak ada menteri yang hadir dalam olimpiade karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia di China, Rabu (8/12/2021).
Kemudian, Kanada juga mengikuti langkah tersebut, terkait masalah hak asasi manusia.
Baca juga: Boikot Olimpiade Beijing Semakin Meluas, Jepang Masih Wait and See
Baca juga: Ikuti AS, Australia Boikot Diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022
Itu terjadi setelah pengumuman serupa oleh AS dan Australia awal pekan ini.
China pun mengutuk AS atas keputusannya dan mengancam akan melakukan pembalasan.
Namun tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait hal tersebut.
Pengumuman dari PM Johnson dibuat setelah mantan pemimpin konservatif Iain, Duncan Smith menyerukan boikot diplomatik dari acara olahraga besar tersebut.
Johnson mengatakan kepada anggota parlemen bahwa dia biasanya tidak mendukung boikot olahraga.
Di Ottawa, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan bahwa boikot negara itu tidak akan mengejutkan China.
"Kami telah sangat jelas selama bertahun-tahun terakhir tentang keprihatinan mendalam seputar pelanggaran hak asasi manusia," ucap Trudeau.
Thomas Bach, presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengatakan, terlepas dari meningkatnya jumlah boikot politik, IOC senang bahwa para atlet masih dapat ambil bagian.
“Kehadiran pejabat pemerintah merupakan keputusan politik masing-masing pemerintahan sehingga prinsip netralitas IOC berlaku,” ujarnya.
Ketegangan dengan China
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan meningkat antara China dan beberapa negara Barat, karena sejumlah masalah diplomatik.
AS menuduh China melakukan genosida dalam penindasannya terhadap minoritas Uighur yang mayoritas Muslim di wilayah barat Xinjiang, sebuah tuduhan yang berulang kali ditolak China.
Hubungan antara Kanada dan China semakin bergejolak setelah penangkapan 2018 di Kanada terhadap seorang eksekutif tinggi dengan pemimpin teknologi China Huawei atas permintaan pejabat AS, dan penahanan berikutnya terhadap dua warga Kanada di China. Ketiganya dirilis awal tahun ini.
Hubungan juga tegang karena penindasan kebebasan politik China di Hong Kong, dan karena kekhawatiran terhadap pemain tenis China Peng Shuai, yang tidak terlihat di depan umum selama berminggu-minggu setelah dia menuduh seorang pejabat tinggi pemerintah melakukan penyerangan.
Baca juga: Ekspor Produk Perikanan Indonesia Naik 6,6 Persen, AS dan China Masih Jadi Pasar Utama
Baca juga: Kepala Kepolisian Korea Selatan Mendarat di Pulau Takeshima, Jepang akan Sanksi Berat Korsel
Sementara itu, Australia semakin memandang China sebagai ancaman keamanan di tengah tuduhan bahwa Beijing telah ikut campur dalam politik dan masyarakat Australia.
Ini juga menimbulkan kekhawatiran atas dua warga negara Australia yang tetap dipenjara di China.
China telah mengatakan bahwa semua tuduhan terhadapnya dibuat-buat.
Negara-negara lain, termasuk Jepang juga dikatakan sedang mempertimbangkan boikot diplomatik terhadap olimpiade tersebut.
Selandia Baru telah mengkonfirmasi tidak akan mengirim pejabat ke Beijing sebagian besar karena pandemi virus corona, tetapi juga menyuarakan keprihatinan atas masalah hak asasi manusia di China.
(Tribunnews.com/Yurika)