China Beri Peringatan Keras Setelah Negara-negara Barat Boikot Diplomatik Olimpiade Beijing
China beri peringatan keras terhadap negara-negara yang telah mengumumkan boikot diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - China memberikan peringatan keras terhadap negara-negara yang telah mengumumkan boikot diplomatik di Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
China pada Kamis (9/12/2021) memperingatkan bahwa negara-negara tersebut akan "membayar harga" atas boikot diplomatik Olimpiade.
Pada awal pekan ini, Amerika Serikat telah mengumumkan boikot diplomatik yang didorong oleh pelanggaran hak asasi manusia China.
Kemudian diikuti oleh Australia, Inggris dan Kanada.
"Penggunaan platform Olimpiade oleh AS, Australia, Inggris dan Kanada untuk manipulasi politik tidak benar dan (hanya akan) mengiosolasi diri sendiri, dan mereka pasti akan membayar harga untuk kesalahan mereka," kata juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin, dilansir dari CNA.
Baca juga: Inggris, AS, dan Australia Boikot Olimpiade Beijing 2022, China: Mereka akan Terima Konsekuensinya
Baca juga: Setelah 14 Tahun Mencari, Orang Tua di China Akhirnya Menemukan Putranya yang Diculik
Kelompok-kelompok advokasi telah mendukung boikot itu, dengan Direktur Human Rights Watch China Sophie Richardson menyebutnya sebagai langkah penting untuk menantang kejahatan pemerintah China terhadap kemanusiaan yang menargetkan Uyghur dan komunitas Turki lainnya.
Para pegiat mengatakan bahwa setidaknya 1 juta orang Uyghur dan yang berbahasa Turki lainnya, sebagian besar minoritas Muslim telah dipenjara di Xinjiang, di mana China juga dituduh mensterilkan wanita secara paksa dan memerintah kerja paksa.
Beijing telah mempertahankan kamp-kamp tersebut sebagai pusat pelatihan kejuruan yang bertujuan untuk mengurangi daya tarik ekstremisme Islam.
Presiden Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach mengatakan, dia tetap netral secara politik mengenai masalah ini.
Dia bersikeras bahwa poin pentingnya adalah partisipasi para atlet di Olimpiade.
Keempat negara Barat yang memboikot itu telah melihat hubungan dengan Beijing menjadi dingin dalam beberapa tahun terakhir.
Inggris juga mengkritik China atas tindakan kerasnya di Hong Kong.
Itu membuat marah Beijing tahun lalu dengan memblokir keterlibatan raksasa teknologi China Huawei dalam peluncuran broadband 5G, setelah Washington mengangkat kekhawatiran mata-mata.
Hubungan Kanada dengan China mencapai titik terendah selama penangkapan Desember 2018 di Vancouver atas surat perintah AS dari eksekutif Huawei Meng Wanzhou, dan penahanan Beijing terhadap dua warga negara Kanada sebagai tanggapan.
Ketiganya dibebaskan dan dipulangkan pada bulan September.
Hubungan Canberra dengan Beijing juga terjun bebas dalam beberapa tahun terakhir, dengan China memperkenalkan serangkaian sanksi hukuman terhadap barang-barang Australia.
China telah marah atas kesediaan Australia untuk membuat undang-undang terhadap operasi pengaruh luar negeri, larangan Huawei dari kontrak 5G, dan seruannya untuk penyelidikan independen tentang asal usul pandemi virus corona.
Langkah Australia baru-baru ini untuk melengkapi angkatan lautnya dengan kapal selam bertenaga nuklir di bawah pakta pertahanan baru dengan Inggris dan Amerika Serikat, yang secara luas dilihat sebagai upaya untuk melawan pengaruh China di kawasan Pasifik semakin membuat marah Beijing.
Baca juga: Ekspor Produk Perikanan Indonesia Naik 6,6 Persen, AS dan China Masih Jadi Pasar Utama
Baca juga: Abaikan Protes China Soal Pengeboran Migas di Natuna, Profesor Eddy: Sikap RI Sudah Tepat
Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan boikot Inggris di parlemen, tetapi para atlet harus tetap hadir.
"Saya tidak berpikir bahwa boikot olahraga masuk akal, itu tetap menjadi kebijakan pemerintah," tambahnya.
Di Ottawa, Perdana Menteri Justin Trudeau mengumumkan pejabat Kanada juga akan melewatkan Olimpiade, dengan mengatakan pemerintahnya "sangat prihatin dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali dilakukan oleh pemerintah China".
Kemudian, pemimpin Australia Scott Morrison membuat pengumuman serupa pada hari sebelumnya.
Sementara negara-negara lainnya masih menimbang langkah yang akan mereka ambil.
(Tribunnews.com/Yurika)