Kecil Kemungkinan Bakal Ada Campur Tangan Negara Lain dalam Konflik Rusia dan Ukraina
Saat ini eranya negara-negara lain menyerukan perdamaian sehingga kecil kemungkinan bakal ada campur tangan negara lain dalam konflik Rusia - Ukraina.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara di Uni Eropa, Amerika dan China tidak akan terlibat langsung dalam konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Hal itu diungkapkan Yulius Purwadi Hermawan, pengamat hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (25/2/2022).
Ia menilai jika saat ini eranya negara-negara lain menyerukan perdamaian, sehingga kecil kemungkinan bakal ada campur tangan negara lain dalam konflik Rusia dan Ukraina.
"Agak aneh memang, sekarang eranya sudah berpikir perdamaian, jadi sebetulnya tidak rasional perang bisa terjadi. Saya jujur, tidak membayangkan Rusia se-ekspansi ini, saya hanya membayangkan seperti 2014, Crimea diambil, sudah selesai begitu, tapi ini nyatanya dia menggempurnya sampai ke Kiev, saya kira itu sudah kelewatan," ujar Yulius.
Menurutnya, kemungkinan besar Negara Eropa dan Amerika akan diam saja.
Melihat skala presentasi, kata dia, paling hanya 30 persen. Sebab, kalau sampai bereaksi akan sangat berbahaya.
"Karena pasti akan meluas kalau mereka beraksi. Kemarin Cina mengecam posisi Rusia, saya kira ini risiko untuk Cina kalau dia terlibat dan masuk di pihak Rusia, saya tidak melihat itu akan terjadi," katanya.
Namun, pendapat berbeda diungkapkan Prof Obsatar Sinaga, pengamat terorisme, yang juga Rektor Universitas Widyatama, Bandung.
Ia, mengatakan Amerika sebagai negara adidaya pasti campur tangan.
"Tapi tidak langsung dengan bentrok fisik. Nanti akan terjadi bergaining. Sekarang posisinya Amerika sudah lepas dari Rusia. Jadi, Amerika tidak terlalu terlibat dalam perang ini, dengan bahasa Demokrasi memberikan intimidasi juga kepada Rusia, nanti bakal terjadi tawar menawar hal-hal yang sifatnya lain mungkin dengan Ekonomi-Politik Internasionalnya," ujar Obsatar.
Ia pun tidak menyakini, buntut dari konflik Rusia dan Ukraina ini bakal memicu terjadinya Perang Dunia III.
"Aneksasi terhadap Ukraina dalam kondisi sekarang ini, tidak terlalu berdampak pada kondisi ekonomi global, jadi tidak merembet sampai ke PD III hanya karena gara-gara Ukraina," katanya.
Baca juga: Ukraina Diserbu Rusia, Juara Tinju Kelas Berat Pulang Kampung Bela Negara, Klitschko Siap Bertarung
Gunakan Kekuatan Hibrida dan Proksi
Sementara itu Analis Pertahanan, Militer, dan Hubungan Internasional Dr Connie Rahakundini Bakrie menduga Rusia pada akhirnya akan menggunakan kekuatan hibrida dan proksi untuk mengganti Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Menurut Connie, hal itu karena pada dua periode pemerintahan di Ukraina hingga saat ini lebih condong kepada kepentingan Eropa ketimbang Rusia.
Selain itu, ia mengingatkan peristiwa Euromaidan pada 2014 di mana Presiden Ukraina saat itu yang dinilai pro Rusia, Viktor Yanukovych pada akhirnya dimakzulkan parlemen.
Hal tersebut disampaikannya dalam dialog Tribun Corner bertajuk Tanpa Bantuan NATO dan Amerika, Berapa Lama Ukraina Mampu Bertahan? di kanal Youtube Tribunnews.com pada Jumat (25/2/2022).
"Tapi yang pasti setelah dia membuat kejutan militer ini, dia akan menggunakan kekuatan hibrida dan proxy untuk kemudian mengganti Presiden Ukraina dengan Presiden yang lebih kepada Russian interest. Pastinya itu," kata Connie.
Menurut Connie, sosok presiden yang diduganya akan menggantikan Zelensky adalah sosok yang bisa menyeimbangkan tidak hanya kepentingan NATO dengan Rusia melainkan juga kepentingan nasional Ukraina sendiri.
Kepentingan nasional Ukraina yang dimaksud Connie adalah adanya permasalahan di internal Ukraina di antaranya titik-titik perpecahan di dalam Ukraina.
"Tapi kalau sekarang juga, kalau terlalu pro NATO atau pro Uni Eropa ya untuk Rusia pun berat. Makanya saya merasa ini akan diganti oleh presiden yang akan bisa lebih balance (seimbang)," kata Connie.
(tribun jabar/nazmi abdurahman)