Laporan Rasisme di Ukraina: Warga Asing Kedinginan, Jalan Kaki, Tanpa Makanan, dan Dugaan Pemukulan
Beberapa laporan terkait rasisme menggaung di perbatasan Ukraina, di mana warga asing disebut tak mendapat hak yang sama dengan orang kulit putih.
Penulis: garudea prabawati
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah masih memanasnya ketegangan Rusia dan Ukraina, terdapat laporan miring soal adanya perlakukan rasis yang dilakukan pasukan keamanan Ukraina dan pejabat perbatasan.
Diketahui ketika invasi Rusia ke Ukraina berlanjut, banyak warga Ukraina meninggalkan negaranya ke tempat yang lebih aman.
Dalam hal ini termasuk warga asing yang tinggal di Ukraina.
Banyak warga non-Ukraina yang kini masih berjuang untuk kembali ke negara asal mereka.
Baca juga: Warga Rusia Mulai Rasakan Sanksi Internasional Pasca Putin Lancarkan Invasi ke Ukraina
Namun mahasiswa asing yang berusaha meninggalkan negara itu mengatakan bahwa mereka mengalami perlakuan rasis.
Seorang mahasiswa kedokteran Afrika mengatakan, dia dan orang asing lainnya diperintahkan turun dari bus angkutan umum di sebuah pos pemeriksaan antara perbatasan Ukraina dan Polandia.
Mereka disuruh berdiri di samping bus, lantas bus tersebut melaju dengan hanya mengangkut warga negara Ukraina, dikutip Tribunnews dari CNN.
Rachel Onyegbule, seorang mahasiswa kedokteran asal Nigeria di Lviv terdampar di kota perbatasan Shehyni, sekitar 400 mil dari Ibu Kota Ukraina, Kyiv.
"Lebih dari 10 bus datang dan kami melihat semua orang pergi. Kami pikir setelah mereka mengambil semua orang Ukraina, mereka akan membawa kami, tetapi mereka memberi tahu kami bahwa kami harus berjalan, dan kami berjalan kaki lantaran sudah tidak ada bus lagi," ungkapnya.
Baca juga: Apple Hentikan Penjualan Produk di Rusia: Kami Prihatin dengan Invasi Rusia ke Ukraina
“Tubuh saya mati rasa karena kedinginan dan kami belum tidur selama sekitar 4 hari sekarang. Orang Ukraina lebih diprioritaskan daripada orang Afrika, pria dan wanita di setiap titik. Tidak perlu bagi kami untuk bertanya mengapa. Kami tahu mengapa. Saya hanya ingin pulang," kata Onyegbule.
Onyegbule mengatakan, dia akhirnya mendapatkan cap dokumen unutk keluar dari Ukraina pada Senin pagi sekitar pukul 04.30 pagi waktu setempat.
Dugaan kekerasan
Laporan lainnya juga dikatakan oleh Saakshi Ijantkar, seorang mahasiswa kedokteranasal India.
“Ada tiga pos pemeriksaan yang harus kita lewati untuk sampai ke perbatasan. Banyak orang terdampar di sana. Mereka tidak mengizinkan orang India lewat."
Saakshi Ijantkar mengatakan, pasukan keamanan Ukraina dan pejabat perbatasan mengizinkan 30 orang India untuk ke perbatasan, hanya setelah 500 orang Ukraina masuk.
Untuk mencapai perbatasan ini dirinya harus berjalan 4 hingga 5 Kilometer (Km) dari pos pemeriksaan pertama ke pos pemeriksaan kedua.
Orang Ukraina diberikan taksi dan bus untuk bepergian, namun semua negara lain harus berjalan kaki.
"Mereka sangat rasis terhadap orang India dan negara lain,'" kata pria 22 tahun tersebut.
Ijantkar mengatakan, dia melihat pria India dibiarkan dalam antrian selama berjam-jam bersama dengan warga negara non-Ukraina lainnya.
"Mereka sangat kejam. Pos pemeriksaan kedua adalah yang terburuk, tentara Ukraina tidak mengizinkan pria dan anak laki-laki India untuk menyeberang. Mereka hanya mengizinkan gadis-gadis India saja. Kami harus benar-benar menangis dan memohon di kaki mereka. Setelah gadis-gadis India masuk, anak-anak lelaki itu dipukuli. Tidak ada alasan bagi mereka untuk memukuli kami dengan kekejaman ini," kata Ijantkar.
"Saya melihat pria Mesir berdiri di depan dengan tangan di rel, dan karena itu seorang penjaga yang mendorongnya dengan sangat kuat dan pria itu menabrak pagar,dan dia kehilangan kesadaran," katanya.
Ijantkar juga mengatakan banyak siswa menunggu setidaknya satu hari, tetapi akhirnya kembali ke Lviv karena dia ketakutan, menunggu dalam suhu beku tanpa makanan, udara, atau selimut.
Baca juga: Kanada Ikut Jatuhkan Sanksi, Hentikan Impor Minyak Mentah dari Rusia
"Saya orang-orang yang gemetar hebat dalam cuaca dingin, mereka pingsan hipotermia. Kami tidak bisa mendapatkan bantuan dan hanya berdiri berjam-jam," katanya.
Pihak Ukraina Buka Suara
Andriy Demchenko, juru bicara Layanan Penjaga Perbatasan Ukraina mengatakan bahwa laporan rasisme dan penganiayaan di perbatasan tidak benar.
Dirinya menyebut para penjaga bekerja di bawah tekanan besar di wilayah perbatasan, dan telah bekerja sesuai hukum.
Sejak hari Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina, gelombang orang yang mencoba meninggalkan Ukraina dan zona perang sebelumnya telah meningkat pesat.
Untuk mempersiapkan proses dan memungkinkan lebih banyak orang untuk menyeberang, pemerintah telah menyelesaikan prosedur penyeberangan perbatasan sebanyak mungkin.
PBB Akui Warga Asing Menghadapi Rasisme di Perbatasan Ukraina
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengakui bahwa beberapa pengungsi non-Eropa telah menghadapi diskriminasi ketika mencoba melarikan diri ke tempat yang aman di perbatasan Ukraina.
Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, mengakui penderitaan mereka, dikutip Tribunnews dari The Independent.
“Ada perlakuan yang berbeda ( antara orang Ukraina dan Non-Ukraina). Seharusnya sama sekali tidak ada diskriminasi antara orang Ukraina dan non-Ukraina, orang Eropa dan non-Eropa. Semua orang melarikan diri dari risiko yang sama.”
PBB berencana untuk campur tangan mencoba memastikan bahwa setiap orang menerima perlakuan yang sama, tambah Grandi.
Baca juga: Cegah Invasi Rusia Lewat Jalur Laut, Turki Tutup Selat Bhosporus dan Dardanelles
Sebelum ini, Christine Pirovolakis, Pejabat Hubungan Eksternal Senior di Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) cabang Inggris, mengatakan:
“UNHCR mengetahui laporan tentang individu yang menghadapi tantangan memasuki Polandia dari Ukraina dan kini oragnisasi sedang menindaklanjutinya.
“Kami menganjurkan akses keamanan untuk semua, tanpa memandang status hukum, kebangsaan dan ras mereka serta akses suaka bagi mereka yang ingin mencari suaka.”
Ini terjadi setelah sejumlah pengungsi kulit hitam, Asia Selatan, dan Mediterania berbagi akun tentang pemblokiran di perbatasan ketika mencoba melakukan penyeberangan sementara orang kulit putih Ukraina diprioritaskan.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)