Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ketegangan di China, Taiwan Lipatgandakan Produksi Rudal

Negeri Chiang Kai Sek ini terus meningkatkan kekuatan tempur di tengah apa yang dilihatnya sebagai ancaman militer yang meningkat dari China daratan.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Ketegangan di China, Taiwan Lipatgandakan Produksi Rudal
AFP/SAM YEH
Dua pesawat tempur F-16V bersenjata buatan AS terbang di atas pangkalan angkatan udara di Chiayi, Taiwan selatan. Rabu (5/1/2022). Sejumlah pilot pesawat tempur F-16V berlatih kesiapsiagaan menghadapi serangan dari Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China. (Sam Yeh / AFP) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketegangan dengan negara China membuat Taiwan menggandakan produksi alat perang mereka.

Terutama rudal, negara tersebut membuat lebih dari dua kali lipat kapasitas produksi rudal tahunannya menjadi hampir 500 unit.

Negeri Chiang Kai Sek ini terus meningkatkan kekuatan tempur di tengah apa yang dilihatnya sebagai ancaman militer yang meningkat dari China daratan.

Ini terjadi setelah Taiwan pada bulan November menyetujui pengeluaran militer tambahan sebesar NT$ 240 miliar (US$ 8,6 miliar) selama lima tahun ke depan, karena ketegangan dengan Beijing, yang mengklaim pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu sebagai wilayahnya sendiri, mencapai titik tertinggi baru.

Baca juga: Presiden Taiwan Sumbangkan Gajinya Untuk Bantu Ukraina

Melansir South China Morning Post, Sabtu (5/3), Pesawat Tentara Pembebasan Rakyat China dalam beberapa bulan terakhir berulang kali terbang melalui zona identifikasi pertahanan udara Taiwan.

Kementerian pertahanan Taiwan, dalam sebuah laporan yang dikirim ke parlemen untuk ditinjau oleh anggota parlemen, mengatakan pengeluaran ekstra termasuk rencana untuk meningkatkan kapasitas produksi rudal tahunan menjadi 497, dari saat ini 207 per tahun.

Di antaranya adalah rudal udara-ke-darat Wan Chien Taiwan yang diproduksi sendiri, serta versi upgrade dari rudal Hsiung Feng IIE, rudal serangan darat Hsiung Sheng jarak jauh yang menurut para ahli militer mampu mengenai sasaran lebih jauh ke pedalaman di Cina daratan.

Berita Rekomendasi

Kementerian juga berencana untuk mulai memproduksi “drone serang” yang tidak ditentukan dengan target produksi tahunan.

Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan milik militer bertujuan untuk membangun 34 fasilitas produksi rudal baru pada akhir Juni, sebuah langkah yang akan membantu memenuhi “puncak produksi” mulai tahun 2023, kata laporan itu.

Sekitar 64% dari pengeluaran militer tambahan, yang melebihi pengeluaran yang direncanakan NT$ 471,7 miliar untuk tahun 2022, akan digunakan untuk senjata anti-kapal seperti sistem rudal darat, termasuk rencana NT$ 148,9 miliar untuk memproduksi massal rumah- rudal yang tumbuh dan kapal “berperforma tinggi”.

Baca juga: Pejabat Senior Amerika Kunjungi Taiwan di Tengah Kekhawatiran Serangan China

Presiden Tsai Ing-wen telah menjadikan modernisasi militer sebagai prioritas utama, mendorong berbagai proyek pertahanan termasuk menempatkan kapal perang siluman kelas baru dan mengembangkan kapal selam Taiwan sendiri.

Tsai telah memperjuangkan gagasan “perang asimetris” dengan mengembangkan senjata berteknologi tinggi dan sangat mobile yang sulit dihancurkan dan dapat memberikan serangan presisi.

Dia mengatakan kepada delegasi AS yang berkunjung minggu ini bahwa ancaman militer dari seberang Selat Taiwan meningkat, dan berjanji untuk membela kebebasan dan demokrasi pulau itu.

Taiwan yakin Beijing memiliki ribuan rudal yang ditujukan ke sana, dan pasukan PLA mengerdilkan militer Taiwan. Beijing juga memiliki senjata nuklir, yang tidak dimiliki Taiwan.

Baca juga: Pekerjanya Terinfeksi Covid-19, Lab Sains Top Taiwan Didenda 5.400 Dolar AS

Beijing tidak pernah mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk membawa pulau yang dikelola secara demokratis di bawah kendalinya.

Dituduh Galang Kekuatan

Beberapa jam sebelum Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina timur, Amerika Serikat (AS) menuding Moskwa dan Beijing menggalang kekuatan untuk menciptakan tatanan dunia yang "sangat tidak liberal". Krisis Ukraina-Rusia menjadi tantangan besar bagi China dari banyak segi.

Hubungan diplomatik yang semakin mesra antara Rusia dan China dapat dilihat dari kehadiran Presiden Putin di ajang Olimpiade Musim Dingin di Beijing. Putin tercatat sebagai salah satu dari segelintir pemimpin dunia yang hadir.

Penting dicatat, Putin menunggu sampai Olimpiade Musim Dingin berakhir sebelum mengakui kemerdekaan dua wilayah pemberontak di Ukraina timur dan mengerahkan pasukan ke sana. Untuk konsumsi publik, Pemerintah China mendesak kedua pihak mengurangi eskalasi di Ukraina.

Karena bentrokan meningkat, bagaimana posisi resmi China yang sekarang? Pemerintah China berpendirian tidak bisa tampak mendukung perang di Eropa tetapi pada saat yang sama juga ingin meningkatkan hubungan militer dan strategis dengan Moskwa.

Baca juga: Kapal Induk AS Memasuki Laut China Selatan di Tengah Ketegangan antara China dan Taiwan

Mitra dagang terbesar Ukraina adalah China dan Beijing ingin mempertahankan hubungan baik dengan Kiev tapi hal itu mungkin sulit dipertahankan karena China bersekutu dekat dengan Pemerintah Rusia yang mengirimkan pasukan ke wilayah Ukraina.

Ada pula risiko China menghadapi pukulan di sektor perdagangan dari Eropa Barat jika dianggap mendukung agresi Rusia.

Perubahan kebijakan luar negeri China?

Selain itu, para pemimpin China mengekang diri agar negara itu tidak turun tangan dalam masalah dalam negeri negara lain dan mengharapkan negara-negara lain tidak mencampuri urusan dalam negerinya.

Dalam kicauannya, diplomat ternama Liu Xiaoming kembali menegaskan bahwa China tidak pernah "menyerbu negara-negara lain atau terlibat dalam perang proksi," seraya menambahkan China memegang komitmen terhadap perdamaian.

Namun pekan lalu, dalam langkah yang mengejutkan, China abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB untuk mengecam invasi Rusia ke Ukraina.

Sejumlah analis sebelumnya memperkirakan Beijing akan mengikuti langkah Rusia memveto mosi, tapi fakta bahwa China tidak melakukan veto dinilai sebagai "kemenangan bagi Barat"--dan menjadi isyarat sikap tak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Namun demikian, China jauh dari mengecam situasi yang terjadi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin bahkan menolak menggunakan istilah "invasi" untuk mendeskripsikan apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.

Laporan-laporan yang belum dikukuhkan menyebutkan Beijing sejatinya tahu situasi sebenarnya dan sengaja menutup mata.

Berdasarkan laporan New York Times dengan mengutip pejabat-pejabat AS yang namanya tak disebutkan, selama berbulan-bulan terakhir, AS berkali-kali mendesak China untuk turun tangan dan meminta Rusia untuk tidak menyerbu Ukraina.

Namun, laporan itu menambahkan para pejabat AS itu kemudian mengetahui bahwa Beijing memberitahu Moskwa tentang informasi tersebut dengan mengatakan AS berusaha menciptakan perpecahan dan bahwa China tidak akan berusaha menghalang-halangi rencana Rusia.

Menyamakan dengan Taiwan Bagi Partai Komunis, apa yang paling membuat khawatir partai berkuasa di China itu adalah bagaimana sikap rakyatnya dan bagaimana pandangan mereka terhadap dunia.

Untuk mengatasi hal itu, Partai Komunis melakukan manipulasi dan mengendalikan perdebatan tentang situasi Ukraina baik di media maupun di media sosial. Tak lama kemudian isu Taiwan dicampuradukkan.

Pulau yang memerintah sendiri itu diperlakukan oleh pemerintah China sebagai provinsi yang membangkang yang harus disatukan dengan wilayah China.

Di platform Weibo, Twitter versi China, kalangan nasionalis menggunakan invasi Rusia ke Ukraina untuk menyerukan negara mereka sendiri mengikuti langkah Rusia.

Mereka berkomentar, "Kesempatan terbaik untuk mengambil kembali Taiwan sekarang!" Ketika Pemerintah China menolak memberlakukan sanksi terhadap Rusia selama beberapa hari terakhir, negara itu paham kemungkinan akan mengalami hal serupa jika mengambil paksa Taiwan.

Perang itu dipastikan dahsyat dan ongkosnya mahal. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying mengatakan bahwa China tidak pernah berpandangan sanksi adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Sensor dan kritik di media sosial Vladimir Putin mengatakan ia membebaskan para penutur bahasa Rusia di wilayah Ukraina.

Bagaimana dengan etnik Mongolia, Korea, Kirgistan yang sekarang menjadi bagian dari China? Yang berpotensi lebih eksplosif bagi Beijing, bagaimana jika Tibetan atau Uyghur kembali mengobarkan tuntutan untuk memiliki otonomi lebih luas atau bahkan menuntut kemerdekaan? Bagi pemerintahan Xi Jinping yang menjadi prioritas adalah memastikan hal itu tidak benar-benar terjadi.

Karena itu pula, kita bisa menyimak pernyataan-pernyataan di media sosial China untuk mengetahui arah dari media Partai Komunis dalam menggiring opini masyarakat tentang langkah Putin di Eropa Timur. (Kontan/Noverius Laoli/Kompas.com/ Aditya Jaya Iswara)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas