Gelombang Pasukan Rusia Terus Berdatangan tapi Pejabat Ukraina 'PeDe' Perang akan Berakhir Bulan Mei
Pejabat Ukraina memperkirakan perang dengan Rusia bisa saja berakhir pada Mei 2022 mendatang.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, KYIV - Seorang penasihat kepala staf presiden Ukraina, Oleksiy Arestovich, percaya diri dan memperkirakan perang antara Rusia dan Ukraina akan berakhir paling lambat pada Mei 2022 mendatang.
Perkiraan ini disampaikan Arestovich jika melihat kondisi pasukan Rusia yang mungkin akan kehabisan sumber daya untuk menyerang Ukraina.
"Saya pikir paling lambat Mei, awal Mei, kita harus mencapai kesepakatan damai."
"Mungkin jauh lebih awal, kita akan lihat, saya berbicara tentang tanggal terbaru yang mungkin (bisa terjadi)," ujar Arestovich dalam sebuah video yang diterbitkan oleh beberapa media Ukraina, sebagaimana dilansir AlJazeera.
"Kami berada di persimpangan jalan sekarang: akan ada kesepakatan damai yang dicapai secara cepat dalam satu atau dua minggu dengan penarikan pasukan dan segalanya."
Baca juga: Pertempuran Sengit di Irpin, Pasukan Ukraina Menembak ke Segala Arah untuk Menghalau Rusia
Baca juga: Profil Brent Renaud Jurnalis AS yang Tewas Ditembak Pasukan Rusia, Raih Banyak Penghargaan Bergengsi
"Atau akan ada upaya untuk menyatukan beberapa (kesepakatan), katakanlah (dengan) warga Suriah putaran kedua, saat kami juga membicarakan kesepakatan pada pertengahan April atau akhir April," tambahnya.
Skenario yang "benar-benar gila" dari Rusia juga bisa mengirimkan wajib militer baru setelah satu bulan pelatihan, katanya menyinggung soal sumber daya negeri beruang merah.
Perlawanan Ukraina
Rusia saat ini sedang mencoba untuk menempatkan pejabat pro-Kremlin di kota-kota yang telah mereka duduki, tetapi Ukraina melawan.
Mengutip CNN, Rusia menghadapi bentuk perlawanan baru di kota-kota yang telah direbutnya di Ukraina, di mana upaya menculik dan mengganti para pemimpin politik telah mendapat penolakan hukum dan protes dari publik.
Pasukan Rusia telah menahan wali kota dari setidaknya dua wilayah, kata pejabat Ukraina.
Satu diantaranya diganti dengan anggota oposisi pro-Kremlin.
Anggota parlemen di kota ketiga yang diduduki Rusia, mengatakan persiapan kudeta politik sedang dilakukan.
Meskipun mengatasi perlawanan militer Ukraina yang signifikan untuk menduduki wilayah itu, upaya menggulingkan para pemimpin lokal menyebabkan kesulitan baru bagi Moskow.
Jaksa Agung Ukraina telah membuka penyelidikan pengkhianatan terhadap Galina Danilchenko, wali kota baru Melitopol, wilayah yang diduduki Rusia di tenggara Ukraina.
Baca juga: Berita Foto : Serangan Rusia Luluh Lantakan Apartemen di Kyiv
Baca juga: AS Tuduh Rusia Minta Bantuan Militer ke China, Barat Beri Sanksi ke China jika Terbukti
Diketahui, wali kota terpilih kota itu, Ivan Fedorov, ditangkap orang-orang bersenjata pada Jumat (11/3/2022).
Langkah itu menyusul permohonan di hari Minggu (13/3/2022) oleh anggota parlemen kota untuk penyelidikan kriminal Danilchenko atas apa yang mereka sebut "kejahatan pengkhianatan tingkat tinggi, karena mencoba mendirikan pemerintahan pendudukan di Mariupol."
Dewan kota menuduh Danilchenko - yang merupakan mantan anggota dewan kota, menurut situs web administrasi regional Zaporizhzhia - membubarkan pemerintah kota dan mengalihkan kekuasaannya ke Komite Deputi Rakyat.
Danilchenko menyatakan dirinya sebagai pemimpin lokal.
Dalam pidato yang disiarkan televisi hari Minggu, ia mengatakan bahwa "saluran TV Rusia" akan mulai mengudara di kota, yang telah diduduki oleh Rusia sejak hari-hari pertama invasi.
Kenaikannya disambut protes marah pada hari Sabtu (12/3/2022), ketika beberapa ratus orang berdemonstrasi di luar balai kota, meneriakkan "Kebebasan untuk Wali Kota" dan "Fedorov."
Jaksa regional Luhansk yang didukung Rusia, mengklaim alasan penangkapan Fedorov adalah bahwa ia telah melakukan pelanggaran terorisme.
Kemungkinan Mariupol Menghadapi Skenario Terburuk
Lebih dari 2.000 orang tewas di kota Mariupol sejak Rusia melancarkan invasinya di Ukraina, kata dewan kota.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) memperingatkan penduduk kota pelabuhan yang terkepung itu bisa saja menghadapi "skenario terburuk", kecuali pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan untuk memastikan keamanan langsung dan akses mereka ke bantuan kemanusiaan.
Baca juga: Video Tentara Rusia Menangis, Minta Maaf ke Wanita & Anak-anak Ukraina, Minta Putin Hentikan Invansi
Baca juga: Inggris Katakan Rusia Bisa Saja Rencanakan Serangan Kimia ke Ukraina
"Hingga saat ini, 2.187 warga Mariupol tewas akibat serangan Rusia," ujar dewan lokal Mariupol di akun Telegram resminya, dilansir AlJazeera.
Sejak invasi pertama pada 24 Februari 2022, tambahnya, pasukan Rusia telah menjatuhkan sekitar 100 bom di Mariupol, termasuk 22 bom dalam 24 jam sebelumnya.
Pihak berwenang Ukraina mengatakan kota itu telah menjadi sasaran pemboman tanpa henti sejak pasukan Rusia mengepungnya pada 2 Maret.
Sejak itu, sekitar 400.000 orang yang tinggal di Mariupol tidak memiliki akses ke air, makanan, dan obat-obatan.
Pemanas, layanan telepon – dan listrik di banyak daerah – telah diputus.
“Situasinya telah menjadi bencana selama berhari-hari,” kata Jason Straziuso dari ICRC kepada Al Jazeera.
“Bahkan tim kami mengambil air dari sungai … tetapi bagaimana semua orang (bisa) melakukannya … terutama jika Anda sudah tua?”
Straziuso mengatakan anggota timnya hanya makan satu kali sehari demi menghemat persediaan.
Dalam sebuah pernyataan pada Minggu (13/3/2022), ICRC memperingatkan waktu sudah "habis" bagi mereka yang terjebak di kota.
“Sejarah akan melihat kembali apa yang sekarang terjadi di Mariupol jika tidak ada kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak secepat mungkin.”
Baca juga: Deplu Amerika Serikat Umumkan Sanksi terhadap 11 Pejabat Pertahanan Rusia
Baca juga: Rusia Disebut Minta Bantuan Makanan dari China di Tengah Invasi ke Ukraina
Presiden ICRC, Peter Maurer, meminta semua pihak yang terlibat dalam pertempuran untuk “menempatkan kepentingan kemanusiaan terlebih dahulu”.
ICRC mengatakan “perjanjian yang konkret, tepat, dan dapat ditindaklanjuti” diperlukan tanpa penundaan sehingga warga sipil yang ingin pergi dapat mencapai keselamatan, dan bantuan dapat menjangkau mereka yang tinggal.
Moskow telah berulang kali membenarkan serangannya di Ukraina, dengan mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan "operasi militer khusus" yang menyerang sasaran militer.
Pekan lalu, Kyiv menuduh Rusia membom rumah sakit anak-anak dan bangsal bersalin dan menewaskan tiga orang.
Sementara otoritas lokal Mariupol pada hari Kamis melaporkan bahwa daerah pemukiman kota telah ditembaki "setiap 30 menit".
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)