Presiden Putin dan Kanselir Scholz Rundingkan Pasokan Gas Rusia ke Jerman
Rusia menuntut pembayaran dalam rubel karena fakta pelanggaran hukum internasional dilakukan negara-negara barat.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kanselir Jerman Olaf Scholz berbicara melalui telepon pada Rabu (30/3/2022) waktu Moskow.
Mereka membahas permintaan Moskow agar Berlin membayar impor gas Rusia menggunakan rubel, bukan dalam euro atau dolar.
Menurut versi Jerman, Putin setuju pembayaran akan berlanjut untuk saat ini dalam salah satu dari dua mata uang barat (dolar AS dan euro).
Namun Kremlin selanjutnya akan mengkonversikannya ke mata uang Rusia. Moskow mengklaim Putin menjelaskan segalanya ke Scholz.
Baca juga: Rusia Susun Mekanisme Pembayaran Gas Pakai Rubel, Pebisnis Jerman Kian Resah Uni Eropa Menolak
Baca juga: Ini Berbagai Kemungkinan Jika Rusia Tutup Keran Ekspor Gas ke Eropa
Poin utamanya, Rusia menuntut pembayaran dalam rubel karena faktapelanggaran hukum internasional dilakukan negara-negara barat.
Cadangan devisa Bank Rusia dibekukan negara-negara anggota Uni Eropa, Inggris dan Amerika.
Namun, Putin mengatakan peralihan tidak akan menghasilkan kondisi kontrak yang kurang menguntungkan bagi importir Jerman.
Jerman bergantung pada Rusia untuk lebih dari setengah pasokan gasnya, dan sepertiga dari minyak impornya.
Para pemimpin di Berlin kurang antusias dalam memberikan sanksi terhadap energi Rusia dibandingkan beberapa rekan Uni Eropa mereka.
Scholz menggambarkan energi Rusia sebagai "penting" untuk kelangsungan ekonomi Jerman. Menteri Ekonomi Robert Habeck mendesak warga minggu ini untuk mengurangi konsumsi gas dan minyak.
Sementara di Jerman, kantor raksasa energi negara Rusia, Gazprom cabang Jerman, dikabarkan digeledah pejabat Eropa.
Berita ini diwartakan Bloomberg, mengutip sumber yang "ingin tetap anonim." Upaya hokum itu konon dilakukan di tengah penyelidikan peran perusahaan tersebut terkait kenaikan harga gas alam di Eropa.
Pihak berwenang menggeledah kantor anak perusahaan Gazprom di Jerman, Gazprom Germania dan Wingas, yang menurut Bloomberg, menyumbang sekitar 20 persen pasokan gas Jerman.
Publikasi tersebut mencatat Eropa telah bergulat dengan krisis energi sejak musim gugur yang lalu, yang menurut para pejabat, dimulai ketika Gazprom berhenti memesan volume pasokan tambahan.
Sementara pasokan gas di toko-toko UE sudah hampir habis. Saat itu, Gazprom dituduh melakukan "penyalahgunaan kekuasaan."
Pejabat Uni Eropa mengklaim Gazprom sengaja mengurangi pasokan untuk menekan politisi untuk mempercepat peluncuran pipa gas Nord Stream 2 yang dibangun di Rusia menuju Eropa.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)