Jilbab Jadi Sorotan Pilpres Prancis, Le Pen akan Denda Wanita yang Berhijab di Tempat Umum
Jilbab bagi muslimah di Prancis menjadi salah satu masalah yang disorot dalam kampanye dua calon presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Jilbab bagi muslimah di Prancis menjadi salah satu masalah yang disorot dalam kampanye dua calon presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen.
Le Pen, kandidat sayap kanan dan Macron yang unggul dalam jajak pendapat, saat ini menghadapi putaran kedua pemilu yang ketat.
Baru-baru ini, kedua capres itu dihadang wanita berjilbab yang menanyakan mengapa busana mereka menjadi alat politik.
Dilansir AP News, Macron tidak akan melarang busana keagamaan, tetapi ia andil dalam penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam dengan dalih membasmi radikalisme.
Pemerintah Macron juga mengesahkan undang-undang kontroversial tahun lalu untuk memerangi "separatisme", kata yang digunakan untuk menggambarkan pencampuran politik dengan Islam, yang dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis.
Baca juga: Jelang Pemilihan Presiden Prancis 2022, Ini Sosok Marine Le Pen, Penantang Emmanuel Macron
Baca juga: Pilpres Prancis 2022: Emmanuel Macron dan Marine Le Pen Bersaing di Putaran Kedua
Di sebuah pasar di Kota Pertuis, seorang wanita dengan jilbab biru-putih mendekati Le Pen saat kandidat presiden itu melewati penjual ikan dan pedagang untuk menyambut para pendukung, Jumat (15/4/2022).
"Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?" wanita itu bertanya.
Le Pen menjawab dengan menyebut jilbab sebagai "seragam yang dikenakan dari waktu ke waktu oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam."
"Itu tidak benar," balas wanita itu.
"Saya mulai memakai cadar ketika saya adalah seorang wanita yang lebih tua. Bagi saya itu adalah tanda menjadi seorang nenek," jelas wanita itu, mencatat bahwa ayahnya telah bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.
Platform Le Pen menyerukan pelarangan jilbab di jalan-jalan Prancis, sebuah langkah lebih jauh dari dua undang-undang yang sudah ada, larangan jilbab tahun 2004 di ruang kelas dan larangan cadar penutup wajah di jalan-jalan tahun 2010.
Menurut kritikus, penentangan Le Pen terhadap jilbab membahayakan persatuan Prancis, dengan mengasingkan jutaan Muslim di negara ini.
Le Pen juga akan memangkas imigrasi dan ingin melarang penyembelihan secara Islam, sehingga membatasi akses Muslim dan Yahudi Prancis ke daging halal dan kosher (halal versi hukum Yahudi).
Macron, presiden yang kini maju untuk periode kedua, juga berdebat dengan seorang wanita berjilbab pada Jumat (15/4/2022) dalam siaran France-Info.
Perempuan penanya, Sara El Attar, mengatakan ia merasa terhina oleh komentar Macron sebelumnya, di mana Presiden Prancis itu menyebut jilbab mengacaukan hubungan antara pria dan wanita.
"(Wanita Prancis) telah dihukum beberapa tahun terakhir ini karena syal sederhana, tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidakadilan ini," kata Attar.
Dia mengulangi argumen yang dibuat oleh banyak wanita bercadar di Prancis, bahwa orang salah mengira pria yang memaksa mereka memakai jilbab dan bukan pilihan pribadi.
"Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukanlah obsesi," jawab Macron.
Soal jilbab, Macron berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan tidak akan mengubah hukum apa pun.
Sementara itu, Le Pen berpendapat bahwa jilbab berfungsi sebagai "penanda" ideologi Islam, yang dilihatnya sebagai pintu gerbang ekstremisme.
Menurut laporan Daily Mail, jika terpilih sebagai presiden pada putaran kedua Minggu ini, Le Pen akan melarang wanita mengenakan jilbab di depan umum.
Bagi yang nekat untuk mengenakannya, akan dikenai denda.
Le Pen Lebih Radikal
Marwan Muhammad, mantan direktur kelompok yang berkampanye melawan Islamofobia yang gerakannya dilarang pemerintah, mengatakan Macron dan Le Pen mengubah Islam di Prancis menjadi sepak bola elektoral untuk mencari dukungan.
Namun Le Pen yang lebih radikal, menurut Marwan, adalah keuntungan bagi Macron.
"Yang dia (Macron) inginkan adalah menampilkan dirinya sebagai alternatif, padahal sebenarnya kebijakannya selama lima tahun terakhir telah merusak umat Islam," tambah Muhammad.
Dilansir The Straits Times, Macron jelas menyadari pentingnya suara dari sekitar lima juta Muslim Prancis, yang diperkirakan mencapai hampir 9 persen dari populasi.
Pada Selasa lalu saat kunjungan ke Strasbourg, Macron menanyai seorang wanita bercadar.
Baca juga: Pengadilan India Tegakkan Aturan Larangan Memakai Jilbab di Sekolah dan Perguruan Tinggi
Baca juga: Macron: Prancis Siap Jadi Salah Satu Penjamin Keamanan Ukraina Usai Perang
"Itu karena pilihan. Benar-benar karena pilihan!" kata wanita itu, saat ditanya apakah menggunakan cadar itu pilihannya atau kewajiban.
Macron menjawab, dengan jelas mengacu pada rencana Le Pen: "Ini adalah tanggapan terbaik terhadap sampah yang telah saya dengar."
Presiden Prancis ini kembali menyindir Le Pen selama kunjungan ke kota pelabuhan utara Le Havre.
"Tidak ada satu negara pun di dunia yang melarang jilbab di depan umum. Apakah Anda ingin menjadi yang pertama?" ujarnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)