Nagaenthran K. Dharmalingam, Terpidana Narkoba dengan IQ Rendah, akan Dieksekusi Mati Pekan Depan
Tanggal eksekusi mati Nagaenthran K. Dharmalingam telah ditetapkan. Ia adalah pria Malaysia yang diadili di Singapura karena membawa narkoba.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan Singapura telah menetapkan tanggal 27 April 2022 sebagai tanggal eksekusi mati untuk pria Malaysia Nagaenthran K. Dharmalingam, yang ditangkap tahun 2009 karena membawa 42,7 gram heroin ke negara-kota tersebut.
Dilansir News Sraits Times Malaysia, pengacara HAM Singapura M. Ravi menyebut keputusan pengadilan itu "memilukan".
Di halaman Linkedin-nya, ia menulis:
"Baru saja menerima kabar yang memilukan bahwa Nagenthran akan digantung pada Rabu depan."
"Negara Singapura tidak akan pernah bisa pulih dari aib internasional karena menggantung seseorang yang cacat secara intelektual."
"Segala sesuatu sejak awal sudah salah tentang kasus ini."
Baca juga: Utusan Singapura untuk PBB Sebut Nagaenthran K Dharmalingam Tidak Mengalami Disabilitas Intelektual
"Bahkan psikiater pemerintah di persidangan mengakui bahwa Nagenthran menderita kelainan pikiran."
"Saya akan mengatakan bahwa semua orang Singapura akan memiliki darah di tangan mereka pada hari Rabu depan karena eksekusi dilakukan atas nama mereka."
"Anda memiliki tugas untuk menghentikan ini !!!" tulis Ravi.
Putusan ini datang sebulan setelah pengadilan tinggi Singapura menolak banding terakhir melawan hukuman mati.
Nagaenthran awalnya dijadwal dieksekusi pada Oktober tahun lalu.
Namun eksekusi ditunda beberapa hari sebelumnya karena Nagaenthran positif Covid-19 serta adanya kecaman dari dunia internasional.
Pihak berwenang Malaysia dan kelompok hak asasi manusia menyerukan pembatalan eksekusi karena IQ Nagaenthran yang rendah.
Mereka berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional dalam kasus Nagaenthran, mengingat ia memiliki fungsi intelektual dan defisit kognitif yang terbatas.
Kecacatan ini dianggap akan mempersulit Nagaenthran untuk menilai risiko dan juga akan menyulitkannya untuk secara akurat menjelaskan keadaannya.
BBC melaporkan, IQ Nagaenthran hanya 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi disabilitas intelektual.
Namun Pengadilan Singapura sebelumnya telah memutuskan bahwa Nagaenthran tahu betul apa yang dia lakukan.
Rincian Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam
Mengutip Indian Express, pada 22 November 2010, Dharmalingam dijatuhi hukuman mati karena mencoba menyelundupkan 42,72 gram heroin ke Singapura.
Di bawah hukum Singapura, mereka yang tertangkap membawa lebih dari 15 g heroin akan menjalani hukuman mati.
Dia ditangkap pada April 2009 ketika mencoba menyelundupkan heroin di Woodlands Checkpoint saat memasuki Singapura dari Malaysia.
Heroin itu diikatkan ke pahanya saat itu.
Dharmalingam kemudian mengajukan banding di pengadilan banding Singapura pada Juli 2011, namun ditolak.
Pada Februari 2015, Dharmalingam mengajukan permohonan untuk diberikan hukuman penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.
Pada tahun 2017, seorang psikiater, Dr Ken Ung, mengatakan bahwa Nagaenthran menderita kecacatan intelektual ringan, gangguan defisit perhatian dan gangguan minum - yang semuanya akan "mempengaruhi pengambilan keputusan secara signifikan".
Namun dalam pemeriksaan silang, Dr Ung justru mengatakan bahwa Nagaenthran mengalami borderline intellectual functioning.
Borderline intellectual functioning adalah kategorisasi kecerdasan di mana seseorang memiliki kemampuan kognitif di bawah rata-rata (umumnya IQ 70-85), tetapi tidak sampai mengalami kecacatan intelektual (IQ di bawah 70).
Sementara tiga psikiater lain mengatakan kepada pengadilan bahwa Nagaenthran tidak cacat intelektual, seseorang menyimpulkan bahwa batas IQ-nya mungkin telah berkontribusi terhadap kesadarannya untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.
Pada akhirnya, pengadilan menetapkan bahwa Dharmalingam tidak cacat intelektual.
Surat untuk Ibu Dharmalingam
Kasus Dharmalingam kembali mencuat tahun lalu karena surat pemberitahuan eksekusi dikirim kepada ibu Dharmalingam.
Masih mengutip Indian Express, pada 26 Oktober 2021, Layanan Penjara Singapura mengirim surat kepada ibu Dharmalingam yang menginformasikan tentang eksekusi anaknya yang ditetapkan pada 10 November.
Surat itu lantas beredar di media sosial.
Sejak itu, organisasi hak asasi manusia mulai meminta pemerintah untuk mengampuni Nagaenthran, mengingat mentalnya yang dianggap cacat.
Kasus ini mendapat kecaman dari Uni Eropa, Amnesty International, Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika, Kampanye Anti-Hukuman Penalti Singapura dan Kolektif Keadilan Transformatif.
"Delegasi Uni Eropa dan misi diplomatik Negara Anggota Uni Eropa dan Norwegia dan Swiss menentang penggunaan hukuman mati, yang tidak pernah dapat dibenarkan, dan mengadvokasi Singapura untuk mengadopsi moratorium pada semua eksekusi sebagai langkah pertama yang positif menuju penghapusannya," kata Delegasi Uni Eropa dalam pernyataannya.
"Hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, peninggalan masa awal penologi, ketika perbudakan, branding, dan hukuman fisik lainnya adalah hal biasa."
"Seperti praktik-praktik biadab itu, eksekusi tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab," ungkap Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika dalam pernyataannya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)