Menlu Rusia Singgung soal Risiko Nuklir, Peringatkan Ukraina agar Tak Provokasi Perang Dunia III
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan dia tidak ingin melihat risiko perang nuklir dalam konflik antara Rusia dan Ukraina.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan tak ingin melihat risiko perang nuklir yang berpotensi terjadi agak signifikan dalam konflik antara negaranya dan Ukraina.
Menurut Lavrov, bahaya perang nuklir sangat serius dan tidak boleh diremehkan.
Untuk itu, Lavrov memperingatkan Ukraina agar tidak memprovokasi Perang Dunia III.
"Semua orang membaca mantra bahwa dalam hal apa pun kita tidak bisa membiarkan Perang Dunia III," katanya dalam sebuah wawancara televisi Rusia yang dikutip AP News.
"Bahayanya (perang nuklir) serius. Ini nyata. Ini tidak boleh diremehkan," tambahnya.
Baca juga: BOCOR Foto Diduga Kapal Selam Rusia di Krimea, Disebut Dilengkapi dengan Rudal Kemampuan Nuklir
Baca juga: Jelang Pertemuan AS dan Sekutu Soal Penambahan Senjata ke Ukraina, Rusia: Ancaman PD III Makin Nyata
Hal itu disampaikan Lavrov sebagai tanggapan atas pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Lloyd Austin.
Sebelumnya, Austin mengatakan, AS ingin melihat Ukraina tetap berdaulat dan menjadi negara demokratis.
AS juga ingin melihat Rusia melemah ke titik di mana negara itu tidak dapat melakukan hal-hal seperti menginvasi Ukraina.
Pernyataan Austin tampaknya mewakili pergeseran tujuan strategis AS sejak Washington mengatakan tujuan bantuan militer Amerika adalah untuk membantu Ukraina menang dan untuk membela negara tetangga NATO, Ukraina, dari ancaman Rusia.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba mengatakan Rusia telah kehilangan harapan terakhir untuk menakut-nakuti dunia agar tidak mendukung Ukraina.
"Demikian pembicaraan tentang bahaya 'nyata' PD III. Ini hanya berarti Moskow merasakan kekalahan di Ukraina," tulis Kuleba di Twitter.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, tujuan nyatanya adalah untuk merebut Ibu Kota Kyiv.
Namun Ukraina, dibantu oleh senjata Barat, memaksa pasukan Presiden Vladimir Putin untuk mundur.
Moskow sekarang mengatakan, tujuannya adalah untuk mengambil Donbas, kawasan industri yang sebagian besar berbahasa Rusia di Ukraina timur.