Kanselir Austria Ancam "Rebut" Depot Gas Terbesar Rusia di Salzburg
Fasilitas bawah tanah Haidach dekat Salzburg adalah depot gas terbesar kedua milik Rusia di Eropa Tengah.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, WINA - Kanselir Austria Karl Nehammer meminta raksasa energi Rusia Gazprom mengisi ulang fasilitas penyimpanan gas alamnya di dekat Salzburg.
Jika permintaan tak dipenuhi, Gazprom akan menerima konsekuensinya. Pernyataan disampaikan Nehammer ke surat kabar Kleine Zeitung, Kamis (122/5/2022) waktu Wina.
Menurut publikasi media itu, fasilitas bawah tanah Haidach dekat Salzburg adalah depot gas terbesar kedua di Eropa Tengah.
Depot itu dapat menampung sekitar seperempat dari konsumsi gas tahunan Austria. Itu milik Gazprom dan saat ini kosong.
“Kami juga melihat jelas dan tegas pada fasilitas penyimpanan besar Gazprom di Haidach. Jika ini tidak diisi, kami akan mempertimbangkan langkah-langkah sehingga harus diisi,” kata Nehammer.
Baca juga: Jerman Ambil Alih Gazprom Germania untuk Memastikan Pasokan Energi
Baca juga: Polandia Bekukan Puluhan Aset Perusahaan Asal Rusia Mulai Gazprom Hingga Produsen Pupuk Akron
Baca juga: Daftar Negara Paling Bergantung pada Rusia soal Gas: Bulgaria, Austria, Jerman hingga Italia
Dia mengatakan Austria tidak mungkin menasionalisasi depot, tetapi ada cara lain untuk mengakses penyimpanan tersebut.
"Itu berarti gunakan atau hilangkan. Jika Anda menggunakannya semuanya baik-baik saja, jika Anda tidak menggunakannya, perusahaan lain dapat mengaksesnya," kata Kanselir Austria itu memperingatkan.
Nehammer menekankan fasilitas Haidach secara strategis penting bagi Jerman dan negara bagian barat di Austria.
Penyedia gas Rusia sebelumnya telah menyatakan mereka memenuhi semua kewajiban kontrak dengan mengirimkan pasokan yang dipesan pelanggan Eropa.
Bulan lalu, Wina menerima persyaratan Rusia untuk skema pembayaran berbasis rubel baru untuk pengiriman gas.
Menteri energi negara itu, Leonore Gewessler, baru-baru ini mengkonfirmasi gas dipasok ke Austria tanpa gangguan.
Dia menambahkan tanpa pasokan bahan bakar dari Rusia tahun ini tidak mungkin untuk mengisi fasilitas penyimpanan sebelum musim dingin. Tapi Wina juga akan mencari sumber lain.
Moskow memperkenalkan mekanisme pembayaran gas baru pada akhir Maret. Ini ditujukan pada negara-negara yang memberikan sanksi kepada Rusia sebagai tanggapan atas operasi militernya di Ukraina.
Rusia menuntut agar pembeli, sementara masih membayar dalam mata uang pilihan mereka, membuat rekening rubel di Gazprombank Rusia.
Itu nantinya untuk pembayaran yang akan dikonversi ke mata uang Rusia.
Menurut Bloomberg, total 20 perusahaan Eropa telah membuka rekening rubel sesuai mekanisme pembayaran baru pada 12 Mei.
Jerman Tak Siap Embargo Gas Rusia
Wakil Kanselir dan Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, mengatakan negaranya belum siap embargo total terhadap minyak dan gas Rusia.
Menurut pejabat itu, Berlin masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum mengambil langkah seperti itu.
Habeck mengatakan larangan prematur impor minyak Rusia dapat memicu kenaikan harga dan mungkin mengganggu rantai pasokan (barang).
“Kita perlu membangun infrastruktur lebih cepat” untuk mendatangkan pasokan alternatif,” kata Habeck di Berlin Kamis (12/5/2022) waktu setempat, dikutip Russia Today, Jumat (13/5/2022).
Jerman menetapkan langkah bertahap mengakhiri ketergantungannya pada sumber daya energi Rusia terkait operasi militer Moskow keUkraina.
Berlin berencana mengganti minyak dan batu bara Rusia pada akhir tahun ini dan berhenti membeli gas Rusia pada 2024.
Sejauh ini negara tersebut memenuhi permintaan Rusia sehubungan mekanisme pembayaran gas berbasis mata uang rubel. Dua importir gas utama Jerman, VNG dan Uniper, menyatakan kesiapan mereka
Cina Ingatkan Dewan Keamanan PBB
Di Markas PBB New York, Cina memberi tahu PBB tindakan menghukum Moskow tidak akan membawa perdamaian ke Ukraina
Kampanye sanksi barat menghukum Rusia atas konflik Ukraina akan menjadi bumerang, menyebabkan penderitaan di seluruh dunia.
Aksi itu sebaliknya, gagal mempromosikan perdamaian di bekas republik Soviet. Hal itu dikemukakan Wakil Duta Besar Cina untuk PBB, Dai Bing.
Dai Bing membuat komentarnya saat Dewan Keamanan bertemu membahas krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina.
Ia menyerukan satu-satunya solusi nyata konflik Ukraina adalah kesepakatan damai yang dinegosiasikan.
Dai Bing mendorong Rusia dan Ukraina bekerja sama untuk memungkinkan lebih banyak evakuasi warga sipil dan anak-anak.
“Sanksi tidak akan membawa perdamaian tetapi hanya akan mempercepat limpahan krisis, memicu krisis pangan, energi dan keuangan di seluruh dunia,” kata Dai Bing di New York.
Dia menambahkan, terus menjatuhkan sanksi pada Moskow akan memaksa anak-anak di seluruh dunia menderita konsekuensi pahit
Mencapai perdamaian adalah perlindungan terbaik bagi anak-anak,” kata Dai.
Solusi Konflik Ukraina Dialog Damai
“Dialog dan negosiasi adalah cara paling realistis dan layak untuk mencapai gencatan senjata dan menghentikan perang. Komunitas internasional harus mendorong Rusia dan Ukraina untuk kembali ke jalur negosiasi dan terus mengumpulkan kondisi politik untuk pemulihan perdamaian,” katanya.
Alih-alih mencoba memaksakan resolusi melalui sanksi, menurut Dai, negara-negara barat dan sekutu mereka sebenarnya menyebabkan lebih banyak kerugian bagi anak-anak.
Terutama mereka yang tinggal di tempat-tempat yang dilanda perang seperti Afghanistan, Yaman, Tanduk Afrika dan wilayah Sahel.
“Cina sekali lagi meminta pihak-pihak untuk tetap rasional dan menahan diri, mengatasi prasangka dan perselisihan, dan melakukan upaya tak henti-hentinya untuk penyelesaian awal krisis di Ukraina,” serunya.
AS dan sekutu NATO-nya telah mempelopori kampanye sanksi, mencoba mengisolasi Rusia dan menghancurkan ekonomi dan mata uangnya.
Namun, rubel sebenarnya lebih kuat hari ini daripada sebelum krisis Ukraina dimulai, rebound dari level terendah bersejarah yang dicapai pada Maret.
Faktanya, ini telah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sejauh ini pada tahun 2022, meskipun ekonomi Rusia dilaporkan terkontraksi sekitar 12 persen tahun ini.
Sementara itu, kekurangan pangan dan energi membayangi di seluruh dunia, dan inflasi mencapai level tertinggi dalam 40 tahun di AS dan sebagian Eropa Barat.
Presiden Vladimir Putin mengklaim sanksi memicu krisis ekonomi global. Ia menimpakam kesalahan pada elite negara-negara Barat yang berusaha mempertahankan dominasi global mereka.
Rusia menyerang Ukraina pada akhir Februari, menyusul kegagalan negara tetangga tersebut untuk mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali kedua republik secara paksa.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)