Menlu Sergei Lavrov Beberkan Strategi Geopolitik Rusia, Dekati China dan Sebut Barat Diktator
Menlu Rusia beberkan strategi geopolitik terbaru dari negaranya, sebut ingin lebih dekat dengan China.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menjelaskan strategi geopolitik negaranya.
Lavrov mengungkapkan rencana ekonomi dan politik Rusia hingga hubungan masa depan negaranya dengan Barat.
Lavrov menuturkan, Rusia mengharapkan peningkatan kerja sama ekonomi dengan China.
Hal itu lantaran pihaknya mengklaim Barat mengambil sikap yang lebih diktator dalam urusan global.
Menurut Lavrov, Rusia bermaksud membangun hubungan dengan negara-negara merdeka dan akan memutuskan bagaimana berurusan dengan Barat jika itu masuk akal.
"Sekarang Barat mengambil posisi diktator, hubungan ekonomi kami dengan China akan tumbuh lebih cepat lagi," kata Lavrov dalam sebuah pertemuan pada Senin lalu, dikutip Tribunnews.com dari RussiaToday.
Baca juga: Starbucks Tinggalkan Rusia, Aktivitas Bisnis Sudah Ditangguhkan sejak 8 Maret 2022
Baca juga: UPDATE Serangan Rusia ke Ukraina Hari ke-90, Berikut Ini Sejumlah Peristiwa yang Terjadi
Lavrov pun menjelaskan beberapa langkah untuk mempererat kerjasamanya dengan China.
"Selain pendapatan langsung ke perbendaharaan, ini akan memberi kami kesempatan untuk mengimplementasikan rencana pengembangan Timur Jauh dan Siberia Timur," ujarnya.
"Mayoritas proyek dengan China terkonsentrasi di sana. Ini merupakan kesempatan bagi kami untuk mewujudkan potensi kami di bidang teknologi tinggi, termasuk energi nuklir, tetapi juga di sejumlah bidang lainnya," tambah Lavrov.
Mengenai konflik di Ukraina, Lavrov menyebut pihaknya telah mencoba untuk menyelesaikan krisis Donbass dengan meminta Kyiv menerapkan Protokol Minsk.
Namun, ia menyebut Barat hanya berpura-pura peduli dengan pembicaraan tersebut dan justru mendorong posisi rezim Kyiv menjadi arogan.
"Sekarang Barat bereaksi dengan marah terhadap Rusia yang membela kepentingan fundamentalnya yang benar-benar sah," kata Lavrov.
Baca juga: Diplomat Rusia untuk PBB Mengundurkan Diri, Merasa Malu dengan Negaranya Sendiri
Baca juga: Gambar Satelit Perlihatkan Kapal Rusia Memuat Gandum Ukraina di Krimea
"Para pemimpin Barat "meneriakkan slogan-slogan" dan menyatakan bahwa mereka harus "mengalahkan Rusia" atau membuat Rusia "kalah di medan perang," tanpa memahami sejarah atau sifat Rusia," tambahnya.
"Saya yakin ini pada akhirnya akan berakhir. Barat pada akhirnya akan mengakui kenyataan di lapangan. Ia akan dipaksa untuk mengakui bahwa ia tidak dapat terus-menerus menyerang kepentingan vital Rusia," sambung Lavrov.
Untuk itu, Lavrov menuturkan akan mempertimbangkan secara serius jika suatu saat Barat sadar dan ingin menawarkan sesuatu untuk melanjutkan hubungannya dengan Rusia.
"Moskow tidak hanya menerapkan strategi substitusi impor sebagai tanggapan terhadap sanksi anti-Rusia."
"Tetapi 'dengan cara apa pun harus berhenti bergantung pada pasokan apa pun dari Barat' dan mengandalkan kemampuannya sendiri dan negara-negara yang telah "terbukti keandalan mereka” dan bertindak secara independen," jelasnya.
Rusia Makin Dekat dengan China di Tengah Embargo Gas dari Uni Eropa
Jerman menyatakan bahwa Uni Eropa kemungkinan akan mencapai kesepakatan embargo impor minyak Rusia dalam beberapa hari ke depan.
Di saat hubungan ekonomi dengan Eropa terancam terputus, Rusia fokus pada hubungannya dengan China.
Dilansir Reuters, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan kepada para pemimpin bisnis global di Davos pada Senin (23/5/2022), bahwa dunia harus meningkatkan sanksi kepada Rusia.
Ini untuk mencegah negara lain menggunakan kekuatannya untuk mencapai tujuan.
Baca juga: Diplomat Rusia Mundur karena Malu Negaranya Menginvasi Ukraina, Sempat Disuruh Tutup Mulut
Baca juga: Ulasan Pakar Geopolitik, Barat Gagal Remehkan Senjata Laser Rusia di Ukraina
Banyak dari 27 negara anggota Uni Eropa (UE) yang sangat bergantung dengan impor energi Rusia.
Keputusan UE yang masih menggantung, memicu kritikan dari Kyiv bahwa blok tersebut lambat dalam menyetop pasokan energi Rusia.
Hongaria tetap pada tuntutannya untuk investasi energi sebelum menyetujui embargo, bentrok dengan negara-negara Uni Eropa yang mendorong persetujuan cepat.
Uni Eropa telah menawarkan hingga 2 miliar euro ($2,14 miliar) kepada negara-negara di tengah dan timur yang kekurangan pasokan non-Rusia.
"Kami akan mencapai terobosan dalam beberapa hari," kata Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, kepada penyiar ZDF.
Ia mengatakan, Komisi Eropa dan Amerika Serikat bekerja secara paralel pada proposal untuk membatasi harga minyak global.
"Ini jelas merupakan tindakan yang tidak biasa, tetapi ini adalah waktu yang tidak biasa," katanya.
Invasi Rusia telah berjalan selama tiga bulan, sejak Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim pasukannya pada 24 Februari 2022.
Ini menjadi serangan terbesar terhadap negara di Eropa sejak 1945.
Menyebabkan lebih dari 6,5 juta orang melarikan diri ke luar negeri dan bangunan di kota-kota Ukraina hancur tinggal puing-puing karena serangan.
Sebagai balasannya, Barat memberlakukan sejumlah saksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia.
Berbagai perusahaan global satu persatu menarik diri dari Rusia.
Setelah McDonalds, raksasa kopi Amerika Serikat, Starbucks turut menarik cabangnya di Rusia pada Senin (23/5/2022) setelah 15 tahun berbisnis di sana.
Sementara hubungan dengan Barat makin memanas, Rusia melihat perkembangan hubungan dengan China.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan Kremlin akan fokus pada pengembangan hubungan dengan China karena hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat dan Eropa terputus.
"Jika mereka (Barat) ingin menawarkan sesuatu dalam hal melanjutkan hubungan, maka kami akan mempertimbangkan secara serius apakah kami akan membutuhkannya atau tidak," katanya dalam sebuah pidato, menurut transkrip di situs web kementerian luar negeri.
"Sekarang Barat telah mengambil 'posisi diktator', hubungan ekonomi kita dengan China akan tumbuh lebih cepat," imbuhnya.
(Tribunnews/Maliana/Ika Nur Cahyani)