Sri Lanka Cari Bantuan Untuk Memberi Makan Anak-anak di Tengah Krisis Ekonomi
Dia juga mengatakan, hampir sebagian dari jumlah penduduk Sri Lanka menerima bantuan langsung dari pemerintah pada tahun lalu
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Pemerintah Sri Lanka pada hari Senin (1/8) mengatakan sedang mencari bantuan untuk memberi makan anak-anak di saat negara itu tengah menghadapi krisis ekonomi terburuknya sepanjang sejarah.
"Ketika pandemi Covid-19 mencapai puncak, muncul-lah masalah buruk. Namun, dengan krisis ekonomi saat ini, situasinya jauh lebih buruk," kata Neil Bandara Hapuhinne, sekretaris di Kementerian Urusan Perempuan dan Anak.
Dilansir dari Channel News Asia, Selasa (2/8/2022) Hapuhinne mengatakan bahwa Pemerintah Sri Lanka telah menghitung sebanyak 127.000 anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan gizi pada pertengahan tahun 2021.
Melihat data itu, dia memperkirakan jumlah anak yang mengalami kekurangan gizi telah meningkat beberapa kali lipat akibat dari inflasi yang merajalela dan kekurangan makanan serta kebutuhan pokok lainnya.
Baca juga: Sri Lanka Lanjutkan Diskusi Bailout Dengan IMF
Dia juga mengatakan, hampir sebagian dari jumlah penduduk Sri Lanka menerima bantuan langsung dari pemerintah pada tahun lalu dan lebih dari 90 persen penduduk Sri Lanka saat ini bergantung pada pemerintah untuk bantuan keuangan.
Sementara itu, pihak Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) telah mengeluarkan permohonan pendanaan untuk membantu memberi makan anak-anak yang terkena dampak dari krisis ekonomi Sri Lanka.
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah dilanda krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Mengutip dari Aljazeera, Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan. Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.
Di sisi lain, Pemerintah Sri Lanka sedang mempersiapkan rencana restrukturisasi utang, sebagai syarat kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bailout.