Mantan PM Italia Dihujat setelah Sebut Putin Dipaksa untuk Menginvasi Ukraina
Silvio Berlusconi mengatakan Putin menginvasi Ukraina karena dorongan dari separatis dan politisi nasionalis Rusia.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Mantan perdana menteri Italia, Silvio Berlusconi menuai kritikan setelah membela invasi yang dilakukan Presiden Rusia, Vladimir Putin kepada Ukraina.
Berlusconi mengatakan dalam siaran televisi lokal, bahwa Putin didorong oleh warga Rusia dan para pejabatnya untuk menyerang Ukraina.
Ia mengklaim, media Moskow membuat narasi yang menuduh pemerintah Ukraina membantai penutur bahasa Rusia di timur negara tersebut.
Laporan itu, klaim Berlusconi, didorong oleh pasukan separatis di Ukraina dan politisi nasionalis Kremlin.
Sehingga hal ini yang membuat Putin tidak punya pilihan selain melancarkan invasi terbatas.
"Putin didorong oleh penduduk Rusia, oleh partainya dan oleh para menterinya untuk menciptakan operasi khusus ini," kata Berlusconi dalam talkshow Porta a Porta, dilansir Guardian.
Baca juga: Update Perang Rusia-Ukraina: Rusia Dituding Gelar Referendum Palsu untuk Caplok Wilayah Ukraina
"Pasukan (Rusia) seharusnya masuk, mencapai Kyiv dalam waktu seminggu, menggantikan pemerintahan Zelensky dengan orang-orang yang layak dan kemudian pergi."
"Sebaliknya mereka menemukan perlawanan, yang kemudian diberi makan oleh segala jenis senjata dari Barat," ujar dia.
Partai Berlusconi, Forza Italia, mendukung pengiriman senjata ke Ukraina ketika mereka menjadi bagian dari koalisi luas Mario Draghi, yang runtuh pada bulan Juli, seperti halnya Brothers of Italy.
Sebagai koalisi, mereka telah berjanji untuk melanjutkan dukungan Italia terhadap Ukraina.
"Perang telah berlangsung lebih dari 200 hari," kata Berlusconi.
"Situasinya menjadi sangat sulit. Saya merasa sakit ketika saya mendengar tentang kematian karena saya selalu percaya bahwa perang adalah kegilaan terbesar dari semuanya," pungkasnya.
Para pemimpin oposisi dengan cepat mengutuk komentar Berlusconi.
Pemimpin Partai Centrist, Carlo Calenda menuduhnya berbicara "seperti jenderal Putin", lapor BBC.