Kemlu RI Tolak Debat dengan AS soal Xinjiang, Bukti Moderasi dalam Bentuk Politik Bebas Aktif
Kemlu RI menolak usulan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur di Dewan Keamanan PBB.
Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri RI menolak usulan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam jumpa pers secara virtual, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI Achsanul Habib menerangkan Indonesia tak ingin ada politisasi di Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti rivalitas politik AS versus China.
Keputusan Kemlu RI itu paling tidak menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara moderat serta terukur sebagai bentuk politik bebas aktif.
Menyusul keputusan tersebut, Sino-Nusantara Institute bekerjasama dengan Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) menyelenggarakan seminar nasional dengan tema "Politisasi Xinjiang: Kasus Propaganda Hitam Amerika di Negara-negara Muslim dalam Menekan China"
Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) Robi Sugara menyebut bahwa China dewasa ini menjadi target serangan teror.
Baca juga: Presiden Cina Xi Jinping Percepat Xinjiang Jadi Hub Perdagangan Asia-Eropa
"(Termasuk) ancaman kekerasan dan teror di Indonesia terhadap yang berkaitan dengan China dipengaruhi oleh isu-isu kesenjangan sosial ekonomi, kasus penistaan agama Ahok, investasi China dan komunis, politisasi Xinjiang dan konspirasi Corona," kata Robi dalam keterangan yang diterima, Minggu (9/10/2022).
Dalam konteks Xinjiang, Robi menilai mereka merekayasa muslim Uighur di China seakan-akan dizalimi pemerintah China.
"Selanjutnya, para teroris menarget China sebagai serangan teroris. Yang saya tekankan adalah dari seminar ini, jangan ada lagi kita masyarakat muslim dijadikan proxy war," kata dia.
"Sebenarnya ketegangan antara dua negara super power, China yang sangat baik dari segi perekonomiannya, kemudian AS status quo yang berkuasa di dunia ini, semakin berkuasa. Ini poin penting dari seminar hari ini yang selanjutnya bisa kita diskusikan," kata Robi.
Baca juga: 47 Negara Minta PBB Segera Rilis Laporan tentang Pelanggaran HAM di Xinjiang
Di kesempatan yang sama, Akademisi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mutiara Dewi menyebut bahwa strategi Xinjiang cukup mengundang negara-negara tetangga terhadap politik domestik dan bagian dari negara-negara di sebelah Barat China.
"Kondisi Xinjiang telah dianggap sebagai isu strategis internasional atau setidaknya regional. Jadi, awal internasionalisasi isu Xinjiang adalah sebagai isu keamanan perbatasan," ujarnya.
Mutiara menguraikan, relasi pemerintah China cukup sensitif, tetapi dalam perkembangannya, pemerintah mengembangkan berbagai aturan untuk pemerintah lokal, termasuk di dalamnya kebebasan beragama.
"Nah, konteks ini memicu perkembangan kelompok separatis Uighur yang dalam melakukan gerakan politiknya berjejaring dengan aktor-aktor eksternal dari Xinjiang, termasuk gerakan teror yang meresahkan politik negara-negara tetangga," jelas dosen muda itu.
Baca juga: Wilayah Uighur di Xinjiang Catatkan Tingkat Pemenjaraan Tertinggi di Dunia