Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hubungan Dengan AS Memanas, Arab Saudi Disebut-sebut Ingin Bergabung dengan Kelompok BRICS

Cyril mengatakan, Putra Mahkota yaitu Perdana Menteri Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud berminat negaranya bergabung dengan BRICS.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Hubungan Dengan AS Memanas, Arab Saudi Disebut-sebut Ingin Bergabung dengan Kelompok BRICS
Asiatimes.com
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman 

TRIBUNNEWS.COM -- Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyebut Arab Saudi mempertimbangkan bergabung dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan).

Cyril mengatakan, Putra Mahkota yaitu Perdana Menteri Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud berminat negaranya bergabung dengan BRICS.

Hal itu diungkapkan Ramaphosa setelah ia menemui Pangeran Mohammed bin Salman di Arab Saudi.

Ia juga mengungkapkan bahwa Arab Saudi bukanlah satu-satunya negara yang ingin bergabung dengan BRICS.

Baca juga: Pejabat Rusia: Perang Dunia Ketiga Bisa Pecah Jika Ukraina Gabung NATO

Ramaphosa ingat bahwa Afrika Selatan akan memegang kursi kepresidenan BRICS pada tahun 2023.

BRICS akan mengadakan pertemuan puncak tahun depan di bawah kepemimpinan Afrika Selatan dan masalah (memperluas grup BRICS) akan dipertimbangkan .

"Beberapa negara sedang melakukan pendekatan kepada anggota BRICS, dan kami telah memberi mereka jawaban yang sama, bahwa itu akan dibahas oleh mitra BRICS dan setelah itu akan diambil keputusan," urai presiden.

Berita Rekomendasi

Kunjungan kenegaraan Ramaphosa ke Arab Saudi berakhir pada 16 Oktober. Hasilnya, kedua pemerintah menandatangani paket perjanjian dan memorandum proyek bersama senilai total $15 miliar.

Hubungan dengan AS Memanas

Sebelumnya hubungan antara AS dengan Arab Saudi memang sedang memanas.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan mengevaluasi kembali hubungan Washington dengan Arab Saudi.

Langkah tersebut diambil sebagai tanggapan atas keputusan kelompok kartel minyak OPEC+, termasuk Riyadh memangkas produksi minyak.

Baca juga: Pejabat Rusia: Perang Dunia Ketiga Bisa Pecah Jika Ukraina Gabung NATO

Dilansir Al Jazeera, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Gedung Putin sedang meninjau hubungannya dengan Arab Saudi melalui konsultasi dengan anggota parlemen di Washington serta sekutu di luar negari.

“Kami sedang meninjau di mana kami berada; kami akan mengawasi dengan sangat cermat, berbicara dengan mitra dan pemangku kepentingan,” kata Price kepada wartawan.

Price menambahkan Biden sempat menyinggung soal mengkalibrasi ulang hubungan dengan Arab Saudi demi masyarakat Amerika.

Baca juga: 14 Negara Anggota NATO akan Gelar Latihan Pencegahan Nuklir

"Prinsip kami adalah memastikan memiliki hubungan dan melayani kepentingan kami," terang Price.

"Ini bukan hubungan bilateral yang selalu untuk kepentingan kami," jelasnya.

Pekan lalu, OPEC+, yang menyatukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen lain - yaitu Rusia - mengumumkan pembatasan.

Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah yang kemungkinan akan mendorong harga bensin untuk konsumen AS menjelang pemilihan paruh waktu yang penting.

Pendapat kritikus OPEC

Kritikus OPEC berpendapat bahwa pembatasan produksi menaikkan harga minyak secara global, justru menghasilkan lebih banyak pendapatan bagi Rusia.

Dengan demikian, Moskow akan terus memiliki dana untuk melanjutkan perangnya di Ukraina, meskipun ada sanksi Barat.

Pada hari Selasa, Price menuduh OPEC mendukung perang di Ukraina "melawan kepentingan rakyat Amerika".

Arab Saudi telah menekankan bahwa keputusan 5 Oktober untuk mengurangi produksi sebesar dua juta barel per hari ditujukan untuk menstabilkan pasar minyak.

Riyadh menegaskan keputusan tersebut bukan untuk menaikkan harga di tengah melonjaknya suku bunga oleh bank sentral dan prospek resesi global.

Beberapa pendukung Arab Saudi juga berpendapat bahwa hubungan keamanan antara Washington dan Riyadh saling menguntungkan.

Pukulan ganda bagi Biden

Diwartakan The Guardian, keputusan kartel minyak OPEC+ pun dianggap sebagai pukulan ganda bagi Biden.

Ini merusak upayanya untuk memotong pendapatan Rusia dengan menurunkan harga minyak.

Kebijakan baru ini juga mengancam lonjakan harga minyak dan harga bensin domestik beberapa minggu sebelum pemilihan kongres.

Dilansir The New York Times, Biden mengisyaratkan keterbukaan terhadap tindakan pembalasan, termasuk penghentian penjualan senjata dan memungkinkan tuntutan hukum penetapan harga.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas