Tangan Petugas Pemadam Kebakaran Gemetar saat Bicara Tragedi Itaewon, Tuai Pujian KNetz
Seorang pemadam kebakaran menuai pujian dari KNetz karena keseriusannya dalam menjelaskan tragedi pesta Halloween di distrik Itaewon, Seoul.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Sehingga mereka yang secara fisik lebih lemah dapat menjadi korban ketika semua orang yang terperangkap berjuang untuk kelangsungan hidup mereka sendiri.
"Kekuatan untuk melawan tekanan bagi perempuan umumnya lebih lemah daripada laki-laki, bersama dengan kemampuan untuk diresusitasi, jadi mungkin itu sebabnya ada lebih banyak korban perempuan," kata Park Jae-Sung, profesor pencegahan kebakaran dan bencana di Soongsil Cyber University.
Kim Won-young, profesor pengobatan darurat di Asan Medical Center, mengatakan bahwa orang secara naluriah menyilangkan tangan mereka untuk membuat ruang bernapas ketika daerah dada mereka di bawah tekanan, sesuatu yang akan lebih sulit dilakukan untuk orang yang lebih lemah di tengah keramaian.
Saksi mata dan kesaksian para penyintas menunjukkan bahwa beberapa pria berhasil melarikan diri dari tempat kejadian ke toko-toko di sekitar, sementara wanita tidak dapat melakukannya.
Hong Ki-jeong, profesor pengobatan darurat di Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul yang bertugas dalam operasi penyelamatan, mengatakan sebagian besar kematian diduga disebabkan oleh serangan jantung yang disebabkan oleh asfiksia.
Sederhananya, orang-orang mati lemas, diremukkan begitu erat sehingga mereka tidak bisa bernapas.
Baca juga: Update Korban Pesta Halloween di Itaewon, Ada 154 Koban Tewas, Ini Rinciannya
Baca juga: Pengertian Crowd Crush, Insiden Desak-desakan yang Sebabkan 154 Orang Tewas di Itaewon
"Ketika (petugas penyelamat) pergi untuk menyelamatkan, sebagian besar (korban) tidak responsif terhadap CPR, mati lemas," katanya kepada media lokal.
"Banyak yang pasti sudah menderita kerusakan otak karena asfiksia, jadi tindakan darurat memiliki efek terbatas."
Waktu kritis untuk serangan jantung adalah dalam lima menit pertama, setelah itu terjadi kerusakan otak.
Setelah 10 menit, kerusakan menjadi permanen.
Dalam kasus Itaewon, waktu kritis telah berlalu bagi sebagian besar korban karena butuh beberapa menit untuk mengeluarkan mereka dari tumpukan mayat.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)