PM Kanada Justin Trudeau: Orang-orang di China Harus Diizinkan Lakukan Protes Kebijakan Covid-19
Aksi protes besar-besaran telah terjadi di sejumlah kota di China dalam beberapa hari terakhir, menyusul kebijakan pembatasan ketat Covid-19.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, OTTAWA – Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau pada Selasa (29/11/2022) mengatakan bahwa setiap orang di China harus diizinkan untuk memprotes serta mengekspresikan diri mereka, dan bahwa warga Kanada mengamati dengan cermat protes terhadap kebijakan nol-Covid negara itu.
Seperti diketahui, aksi protes besar-besaran telah terjadi di sejumlah kota di China dalam beberapa hari terakhir, menyusul kebijakan pembatasan ketat Covid-19 khas Presiden Xi Jinping yang dinilai sudah tidak lagi efektif dan justru berdampak negatif terhadap kehidupan penduduk negara itu.
"Orang Kanada mengawasi dengan sangat cermat," kata Trudeau, mengutip Reuters.
"Setiap orang di China harus diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, harus diizinkan untuk berbagi perspektif dan bahkan memprotes,” imbuhnya.
Baca juga: Di Balik Aksi Protes Pekerja Pabrik Foxconn di China: Ketidakpercayaan hingga Pembatasan Covid-19
Trudeau juga berharap bahwa China selalu mengedepankan hak asasi manusia dan ia akan mendukung orang-orang yang mengekspresikan diri mereka sendiri,
Adapun, aksi protes yang sedang berlangsung di China juga memicu gejolak di pasar keuangan global.
Saham-saham emiten di China dan mata uang yuan jatuh pada Senin (28/11/2022), sementara saham global berada di bawah tekanan dan harga minyak merosot lebih dari 3 persen akibat aksi protes yang juga menuntut presiden Xi Jinping mundur.
"Protes menjadi perhatian dalam jangka pendek," kata Seema Shah, analis di Principal Global Investors.
"Meskipun kami berhati-hati, ada perubahan penting yang terjadi dengan pelonggaran pembatasan Covid-19,” imbuhnya.
Menurut data dari Institute of International Finance (IIF), portofolio obligasi China telah membukukan arus keluar setiap bulan sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari, dengan total 105,1 miliar dolar AS selama sembilan bulan. Selain itu, portofolio saham China kehilangan 7,6 miliar dolar AS pada Oktober, terbesar sejak Maret.
Selain itu, saham Apple pun turut mengalami penurunan sebesar 2,7 persen pada Senin (28/11/2022), menyusul aksi protes dan eksodus yang dilakukan oleh para pekerjanya di pabrik Foxconn beberapa waktu lalu.
"Rekor kasus di beberapa kota menguji kebijakan (nol-Covid) dan kerusuhan menyoroti besarnya tantangan yang dihadapi Presiden Xi Jinping dan komitmennya terhadap kebijakan nol-Covid," kata Craig Erlam, analis pasar senior di OANDA.
"Kombinasi dari semua ini menciptakan ketidakpastian besar, baik dalam hal bagaimana protes ditangani dan apa arti seluruh pengalaman bagi masa depan kebijakan dan ekonomi,” tambahnya.