Alasan Jepang Legalkan Aborsi Menurut UU Kesehatan Ibu dan Kontroversinya
Alasan Jepang legalkan aborsi menurut UU Kesehatan Ibu dan kontroversinya. Ada dua prosedur aborsi di Jepang, yaitu bedah dan pil, yang terbaru.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Sri Juliati
Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan, persetujuan pasangan tidak diperlukan untuk wanita yang belum menikah dan wanita yang dihamili oleh pasangan yang kasar atau melalui rudapaksa, namun kebijakan ini tidak dikenal luas.
Sehingga, dokter sering meminta tanda tangan pria karena takut mendapat masalah hukum.
Biaya aborsi adalah masalah besar di Jepang.
Aborsi bedah yang dilakukan dalam delapan minggu pertama kehamilan menelan biaya sekitar ¥100.000 ($740).
Sementara yang dilakukan setelah minggu ke-12 dapat menelan biaya dua kali lipat.
Jumlah perempuan yang berjuang untuk membayar prosedur tersebut telah meningkat sejak pandemi dimulai.
Pada Desember 2022, LinePharma Inggris mengajukan persetujuan pil aborsi oral ー mifepristone dan misoprostol ー dengan Kementerian Kesehatan Jepang.
Obat-obatan ini, yang digunakan di lebih dari 70 negara, dianggap sebagai metode yang aman dan terjangkau untuk menginduksi aborsi pada tahap awal kehamilan.
Baca juga: Memasuki Stasiun Pakai Sensor Muka Tak Perlu Lagi Tiket Kereta di Osaka Jepang
Kontroversi Aborsi di Jepang
Meski Jepang melegalkan aborsi untuk kondisi tertentu, namun pandangan agama telah memainkan peran utama di masyarakat.
Aborsi terus mendapat stigma di masyarakat, karena dianggap sebagai dosa perempuan atau tanda keibuan yang buruk, atau bahkan disamakan dengan pembunuhan ibu terhadap bayinya.
“Biasanya di Jepang, hanya perempuan yang dianggap bertanggung jawab atas aborsi,” Tsukahara menjelaskan dalam makalah tahun 2014 yang membandingkan metode dan nilai aborsi di berbagai negara, dikutip dari The Japan Times.
“Oleh karena itu, aborsi harus menjadi salah satu masalah yang sangat kritis yang menjadi sasaran upaya untuk mengakhiri diskriminasi gender di negara ini, tetapi kepentingan ini agak tidak diakui di kalangan masyarakat Jepang,” lanjutnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)