Dilanda Suhu Panas Ekstrem, Warga Thailand Diminta Tidak Keluar Rumah pada Siang Hari
Pihak berwenang memperingatkan warga untuk menghindari aktivitas di luar ruangan dan mewaspadai bahaya serangan panas.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Benua Asia sedang dilanda cuaca panas ekstrem.
Bahkan di China dan India terjadi 'gelombang panas' atau 'heatwave' dan mengakibatkan puluhan orang tewas kepanasan dan banyak sekolah diliburkan.
Di Thailand pada hari Sabtu kemarin otoritas setempat memperingatkan penduduk di sebagian besar negara, termasuk ibu kota Bangkok, untuk menghindari keluar rumah karena panas yang ekstrem.
Sebagian Asia melaporkan panas ekstrem bulan ini, dengan suhu yang memecahkan rekor terlihat di beberapa negara.
Di Bangladesh dan sebagian India, panas ekstrem menyebabkan lonjakan permintaan listrik, menyebabkan pemadaman listrik dan kekurangan bagi jutaan orang.
Distrik Bagna Bangkok, suhu mencapai 42 derajat Celcius (100 Fahrenheit), sedangkan indeks panas yang mencakup kelembaban relatif mencapai rekor 54 C (129 F), menurut departemen meteorologi Thailand.
Pihak berwenang memperingatkan warga untuk menghindari aktivitas di luar ruangan dan mewaspadai bahaya serangan panas.
Baca juga: BREAKING NEWS:Cuaca Panas Ekstrem Landa Asia Termasuk Indonesia, Suhu Tertinggi 51,2 Derajat Celsius
"Kadang-kadang, saya berlindung di minimarket 7-11 untuk menghindari panas," kata Amporn Supasert, 67, penjual ayam bakar di Bangkok dikutip dari Reuters, Senin(24/4/2023).
Departemen pencegahan dan mitigasi bencana Thailand mengatakan suhu akan melebihi 40 derajat Celcius setidaknya di 28 provinsi.
Panas ekstrem baru-baru ini juga telah memecahkan rekor konsumsi listrik, dengan konsumsi negara lebih dari 39.000 megawatt pada 6 April 2023 melampaui rekor sebelumnya 32.000 megawatt pada April tahun lalu, kata juru bicara pemerintah Anucha Burapachaisri.
"Apa yang terjadi saat ini disebabkan oleh perubahan iklim, memengaruhi (cuaca) yang tidak normal dan fenomena yang disebut cuaca ekstrem," kata Mathinee Yucharoen, peneliti oseanografi pesisir dan perubahan iklim di Universitas Prince of Songkhla, kepada Reuters.(Reuters/Willy Widianto)