Mantan PM Sudan: Konflik Bersenjata yang Meningkat akan Menjadi Mimpi Buruk Bagi Dunia
Mantan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengatakan bahwa konflik bersenjata yang memburuk di Sudan dapat memicu perang saudara.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, KHARTOUM - Mantan Perdana Menteri (PM) Sudan Abdalla Hamdok mengatakan bahwa konflik bersenjata yang memburuk di negara Afrika itu dapat memicu perang saudara.
Menurut Abdalla Hamdok, konflik bersenjata yang meningkat itu akan menjadi 'mimpi buruk bagi dunia'.
Baca juga: Konflik Terus Berlanjut, Kelaparan Mengintai Rakyat Sudan
"Tuhan membenci jika Sudan mencapai titik perang saudara yang meningkat," kata Hamdok, saat berbicara dalam sebuah acara di Nairobi, Kenya, pada Sabtu (29/4/2023) lalu.
Dia meyakini perang saudara yang selama ini terjadi di Suriah, Yaman dan Libya hanya akan menjadi 'permainan kecil', jika dibandingkan dengan apa yang kini ia khawatirkan pecah di Sudan.
"Saya pikir itu akan menjadi mimpi buruk bagi dunia,' jelas Hamdok.
Dikutip dari laman Russia Today, Senin (1/5/2023), sekitar 500 warga sipil diperkirakan telah kehilangan nyawa mereka sejak konflik pecah di negara yang bergolak secara politik pada 15 April lalu itu.
Konflik ini terjadi terutama antara pasukan tentara yang dikendalikan oleh Abdel Fattah al-Burhan dan mereka yang dikendalikan oleh Mohamed Hamdan Daglo atau dikenal sebagai Hemedti yang merupakan komandan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Baca juga: Alkes Dijarah, Banyak Rumah Sakit yang Tidak Berfungsi di Sudan
Perselisihan utama antara kedua belah pihak berpusat pada rencana integrasi RSF ke dalam tentara Sudan yang ada.
Kedua belah pihak yang bertikai secara tentatif telah menyetujui beberapa gencatan senjata, namun tidak ada yang benar-benar bertahan.
Karena kekerasan terus berlanjut di Khartoum, ibu kota negara itu yang telah melaporkan pemadaman listrik yang meluas, serta kekurangan makanan dan air.
Perkiraan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menunjukkan bahwa sekitar 75.000 orang telah mengungsi setelah pecahnya pertempuran, yang juga menyebabkan pekerja asing meninggalkan negara itu secara massal.
Hamdok menambahkan bahwa dirinya meyakini konflik tersebut adalah 'perang yang tidak masuk akal'.
"Tidak ada seorang pun yang akan keluar dari kemenangan ini. Makanya, ini harus dihentikan," tegas Hamdok.
Hamdok digulingkan dari kekuasaan di Sudan oleh panglima militer Abdel Fattah al-Burhan pada Oktober 2021, yang merupakan titik nyala lain di tengah transisi negara yang rapuh menuju pemerintahan demokratis.
Ia pun kembali ke pemerintahan di bawah ketentuan pembagian kekuasaan dengan tentara al-Burhan, sebelum memilih untuk mengundurkan diri pada Januari lalu, di tengah klaim oleh beberapa demonstran bahwa hubungan Hamdok dengan tentara negara itu hanya berfungsi untuk membantu stempel pengambilalihan militer.
Sudan sebelumnya diperintah oleh pemimpin otoriter Omar al-Bashir pada periode 1993 hingga 2019, sebelum akhirnya ia juga dicopot dari jabatannya setelah berlangsungnya aksi protes massal yang menyebabkan kudeta militer.