Selain Hadiri KTT G7, Jokowi akan Bertemu Sejumlah Pemimpin Negara dan Pengusaha Besar di Jepang
Di sela-sela KTT G7, Presiden Jokowi dijadwalkan bertemu secara bilateral dengan sejumlah pemimpin negara anggota G7 dan pengusaha Jepang.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta Ibu Iriana Joko Widodo dan delegasi terbatas berangkat menuju ke Hiroshima, Jepang pada Jumat, (19/5/2023).
Presiden akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 atau tujuh negara maju.
Selain itu, Presiden dijadwalkan akan menggelar pertemuan bilateral dengan sejumlah pemimpin negara anggota G7.
“Saya juga dijadwalkan bertemu secara bilateral dengan beberapa negara yaitu Jepang, Korea Selatan, Inggris, Perancis , Australia dan lain lainnya,” kata Jokowi.
Presiden juga dijadwalkan bertemu dengan sejumlah pengusaha besar Jepang dalam format forum bisnis.
Menurut Presiden, Jepang adalah mitra ekonomi penting bagi Indonesia.
“Mitra dagang terbesar kedua (Indonesia) dan juga investor asing terbesar ke empat di dunia,”katanya.
Presiden mengatakan dalam forum G7 nantinya ia akan membahas sejumlah isu. Diantaranya mengenai masalah perubahan iklim, pangan, dan energi.
“Dan kita ingin berkontribusi di situ. Kita pernah diundang dua kali di G7 sebelumnya, dan sekarang di Jepang,” katanya.
Presiden mengatakan dirinya akan membawa suara dari negara negara berkembang dalam pertemuan dengan negara maju. Sehingga suara dalam menyelesaikan masalh global suara yang dominan bukan hanya dari negara-negara maju saja.
“Kita akan membawa suara dari negara-negara global south yang intinya negara-negara berkembang harus didengarkan, bukan hanya negara-negara maju dan negara-negara besar saja tapi negara-negara berkembang harus didengarkan di dalam forum itu. Keinginan kita kira itu,” katanya.
Jokowi menegaskan Indonesia akan konsisten membawa suara dari negara berkembang.
Indonesia juga terus berupaya agar kolaborasi kerjasama antara negara berkembang dengan negara maju dilakukan secara setara dan berimbang.
“Sudah saatnya suara dan kepentingan negara berkembang didengarkan dunia,” pungkasnya.