Kelakuan Warga Asia Tenggara di Gunung Fuji Bikin Jengkel Orang Jepang
sekitar 6 warga Asia (diduga WNI) melakukan masak dan merokok di bawah rumah prefabrikasi tempat menunggu shuttle bus gunung Fuji Stasiun 5 Fujinomi
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kelakuan warga Asia Tenggara di areal Gunung Fuji Jepang bikin jengkel kembali warga Jepang kemarin setelah beredar video di twitter milik Fujinomiya Guchi Guide Kumiai yang memperlihatkan sekitar 6 warga Asia (diduga WNI) melakukan masak dan merokok di bawah rumah prefabrikasi tempat menunggu shuttle bus Gunung Fuji Stasiun 5 Fujinomiya kemarin (13/8/2023).
Twitter tersebut yang diposting kemarin (13/8/2023) pagi ini (14/8/2023) sudah dilihat oleh sedikitnya 9,5 juta orang dengan berbagai komentar negatifnya.
"Sangat tidak bermoral sehingga orang Jepang tidak bisa memahaminya. Biaya masuk yang tinggi, foto wajah Anda, pemeriksaan barang-barang Anda, denda besar bagi pelanggar, dan pelanggar larangan mendaki kembali perlu diterapkan di masa depan," tulis Hachimitsu.
Bagi orang Jepang, tambahnya, gunung adalah objek kepercayaan.
"Itu bukan tempat di mana siapa pun bisa masuk seenaknya. Jika Anda tidak bisa menghormati gunung dan orang-orang yang melindunginya, maka jangan masuk ya!" tekannya lagi.
Sawako Ricorico komentar lainnya mengungkapkan, "Ada sekelompok orang Asia Tenggara yang menggelikan di bawah tempat istirahat sementara di Stasiun 5 Fujinomiya. Bagian dalam rumah pabrikan penuh sesak dengan orang-orang yang menunggu shuttle bus."
Tambahnya lagi, "Terlihat dalam keadaan seperti itu orang yang di bawah itu membuang rokok yang dihisap adalah hal yang tidak biasa! Jika tidak hati-hati bisa terbakar, orang akan mati! Gila benar!" tekannya lagi.
Tempat istirahat sementara prefabrikasi penuh dengan menunggu bus antar-jemput.
Rumah peristirahatan di stasiun 5 Fujinomiya juga mudah hancur karena api khususnya di tempat peristirahatan sementara saat ini didirikan.
"Tidak bisakah mereka memperkirakan apa yang akan terjadi dengan perbuatan mereka? Saya bahkan merasa takut ketika berpikir bahwa saya berbagi jalur gunung dengan orang-orang ini."
Apakah mungkin membuat aturan untuk melakukan one-shot out (melaporkan ke polisi untuk percobaan pembakaran, menolak memasuki gunung, dilarang keluar, berbagi informasi dengan Kementerian Luar Negeri, dan lainnya)?
Tidak seperti pendaki pada umumnya, pemandu berada di pihak yang melindungi "bidang" gunung. Saya pikir mereka memiliki kekuatan untuk membuat aturan yang tepat untuk "memastikan keselamatan pendaki."
Jika ada yang meninggal karena amukan pemanjat durhaka semacam ini (kebakaran, jatuhnya batu, terpeleset, masuk tanpa izin ke area terlarang, perusakan fasilitas, dan lainnya), tanggung jawab pengelolaan sisi fasilitas situs juga akan dipertanyakan.